Semua orang bisa jadi pelaku, semua orang penyintas. Rape culture, bullying, sudah jelas ditentang keras oleh banyak orang. Kesan Indonesia yang selalu menjadi salah satu negara paling ramah di dunia, yang murah akan 3S, senyum, sapa, dan salam ini, nyatanya masih banyak orang yang mengalami penyerangan fisik maupun psikis dengan dalih bercanda.Â
Sering kali kasus-kasus seperti ini disepelekan oleh pihak yang berwajib ketika korban berusaha melapor dengan harapan akan mendapat pertolongan. Namun respon mereka justru menyalahkan, menyudutkan, menertawakan kejadian yang dialami korban. Seperti kasus beberapa waktu lalu yang dialami seorang mahasiswa UI di lingkungan FIB, rape culture di kalangan seniman, yang hanya berujung klarifikasi di media sosial tanpa tindak lanjut hukum yang sesuai prosedur. Â
Miris sekali hukum di negeriku, yang serba katanya ramah-ramah nyatanya tidak semenyenangkan itu. Mungkin kalimat ini hanya berlaku untuk mereka-mereka yang memegang kuasa. Ramah terhadap investor, dan kaum tebal doku saja kali, ya. Orang kecil, silakan sadar diri untuk selalu menerima, apapun itu. Karena semua yang menimpa, sudah takdirnya.
Persetan dengan kata "bercanda" ketika dijadikan alasan orang-orang di zaman sekarang. Didukung adanya teknologi yang siapa saja bisa berselancar menggunakan smartphone melalui akun-akun media sosial. Mengunggah video yang belakangan ini ramai diperbincangkan.Â
Yang memperlihatkan seorang siswi SMA tengah digrepe-grepe payudaranya oleh beberapa kawan sesamanya, ini pem-bully-an bukan lagi bercanda terlepas dari umur yang masih dikatakan anak-anak namun hal ini tidak patut dibenarkan. Semua orang mengecam keras tindakan seperti ini untuk dibiarkan. Tindak lanjut mesti digalakkan agar tidak terjadi hal seperti ini terulang kembali.
Semua orang memiliki hak yang sama atas dirinya sendiri. Sebagai warga negara, semua orang memiliki hak perlindungan negara. Tapi yang terjadi justru kita sering kali tidak merasa aman di negara sendiri.Â
Ketika kita mencoba speak up di depan umum dan di depan pihak berwajib ketika mengalami hal-hal di atas justru kita sendiri yang terjebak dalam masalah itu sebab pihak berwajib tidak semuanya pro dengan korban. Cenderung menyalahkan korban dengan dalih pakaian, terlihat menggoda yang mampu membangkitkan hawa nafsu pelaku. Tapi bagaimana perihal otak pelaku? Apa tidak perlu dipermasalahkan?
Saya rasa ini salah, justru hal seperti ini dari korban sendiri pasti tidak pernah berniat untuk diperkosa. Nafsu berkumpul dalam otak dan pikiran yang kotor hingga menjerumus keinginan-keinginan untuk melakukan hal keji.
Saya teringat beberapa waktu lalu sebelum masa karantina di beberapa wilayah terutama di Jabodetabek. Saat terakhir kuliah, ada satu kejadian yang membuat saya terdiam, berpikir, dan trauma kecil.Â
Dari awal, saya cenderung lebih banyak ke mana-mana sendiri, kecuali ke kantin. Ketika waktu solat tiba, seringnya saya menunggu sampai kira-kira mushola sepi. Terlepas dari seruan adzan yang menyuruh kita menyegerakan solat, saya justru mengakhirkan dengan beberapa alasan.Â
Saya sengaja mengakhirkan waktu, bukan apa-apa, saya hanya meminimalisir bertemu/berpapasan dengan orang. Sebab terlalu banyak orang yang saya temui membuat kepala pusing. Apalagi untuk sekadar mengantre wudhu, belum lagi antre mukena, ini memakan waktu cukup banyak. Energi untuk orang-orang introvert seperti saya akan cepat terkuras yang menimbulkan perasaan cemas, jantung berdetak belebih cepat, lelah, dan pusing.