Mohon tunggu...
Travel Story

Rengganis yang Manis

7 Agustus 2012   06:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:08 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

26 Juni 2012. Pukul 16.00 WIB di pos pendakian desa Baderan kecamatan Curah Malang Kabupaten Situbondo. Sopir angkutan baru saja menurunkan tas-tas kami, dan segera menyelesaikan urusan pembayaran dengan sopir angkutan. Kami langsung disambut dengan petugas Resort KSDA Pegunungan Yang Timur. Bersalam-salaman, dan saling berkenalan, ya sore itu aku merasa berada di tempat yang tepat, karena disinilah akan kumulai harapanku untuk mengecup puncak Rengganis.

Sore merambat begitu cepat. Mulai mendirikan tenda, memasak, dan lekas istirahat. Kami sengaja mengawali jadwal tidur untuk mempermudah jadwal bangun di esok hari. Metode ini berhasil. Tepat jam lima pagi, kami yang beranggotakan empat orang yaitu Ahmad Yusuf, Ananda Firman Jauhari, Iben Siena A.R dan aku sendiri Retno Widyaningrum, tengah bersiap-siap untuk membuat sarapan.

Tepat pukul 07.30 WIB kami berpamitan dengan petugas pos pendakian dan para pendaki yang masih bermalam di pos tersebut. Setelah berdoa bersama, kami mulai melangkahkan kaki menapaki jalanan aspal yang sudah berlubang disana-sini. Pagi itu terasa begitu berkeringat dan menguras tenaga. Menapaki jalan selebar tak lebih dari 2 meter dengan bebatuan, ini jalan yang menyiksa, belum lagi masih beradaptasi dengan beban di dalam tas carier kita masing-masing. Berat, itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisinya. Untungnya salah satu dari kami yaitu mas Ananda Firman Jauhari sebelumnya pernah melakukan pendakian ke gunung Argopuro pada tahun 2005, dia menunjukkan jalur lama menuju pos Mata Air Pertama tanpa harus bertemu dengan jalan batu (macadam). Kami terus berjalan menyusuri ladang tembakau milik warga, yang terlihat hanya hamparan hijau ladang terasering. Siang menyambut kami ketika kami tengah berada di tengah hutan menuju pos Mata Air Pertama.

Hari ini kondisi Iben Siena tidak begitu bagus, dia terlihat belum bisa menyeimbangkan berat di dalam tasnya dengan jalanan menanjak yang sedari tadi kita lalui. Kami terus memberinya semangat. Pukul 13.00 WIB kami memutuskan untuk istirahat makan siang. Rasa letih perlahan telah tergantikan dengan energi yang baru. Kami siap melangkah untuk segera sampai di pos Mata Air Pertama.

Pukul 15.00 WIB. Pos Mata Air Pertama akhirnya telah di depan mata. Kami segera membagi tugas. Mendirikan tenda, mengambil air, memasak, kita lakukan dengan cekatan. Kami ingin segera merebahkan badan, dan istirahat.

28 Juni 2012, jam lima pagi.

Kami bangun dengan senyum menyungging, fajar di ufuk timur begitu menakjubkan. Pemandangan itu kami nikmati sembari membuat minuman hangat dan menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Acara memasak, makan pagi dan packing sudah selesai. Kami bersiap untuk perjalanan yang lebih panjang dan menantang menuju Cikasur. Kami berdoa dan berharap perjalanan hari kedua ini diberi kemudahan dan kelancaran. Kami menyusuri kawasan hutan tropis, dan tepat tengah hari kita sempat berpapasan dengan para penebang liar yang sedang memanggul kayu jarahannya mungkin kebutuhannya sendiri atau mungkin juga untuk dibawa ke penadah yang telah menunggu di desa Baderan. Sangat ironis memang, ketika para petugas kehutanan sedang asik menikmati pagi dengan secangkir kopi dan menghisap berbatang-batang rokok di kantor dinas mereka masing-masing, para penebang liar ini telah jauh berada di dalam hutan untuk memotong pohon yang besar dan berkualitas bagus. Kami terus berjalan, dan kini kami memasuki kawasan hutan Suaka Marga Satwa.“Tak.tak.tak…”.Terdengar beberapa kali suara bacokan pada batang kayu yang besar. Kini terdengar suara dari dua arah yang berbeda. Kami sangat yakin bahwa suara tersebut berasal dari suara bacokan para pencari kayu ilegal, seperti yang kami temui tadi. Langkah kami tidak terhenti, diperjalanan akhirnya sedikit banyak membahas tentang penebangan liar tersebut. Mereka, para penebang liar itu hanya melakoni yang mereka bisa, mereka butuh hidup, butuh mencukupi kebutuhan hidup, butuh menyekolahkan anak-anak mereka dan menebang pohon secara ilegal adalah kemungkinan yang paling bisa mereka lakukan. Kondisinya akan berbeda jika sumber daya manusianya tinggi, punya latar belakang pendidikan yang bagus, dan punya modal, mereka tidak akan mau susah-susah menebang kayu di tengah hutan, dan memanggulnya berpuluh-puluh kilo meter seperti yang mereka lakukan sekarang. Sekarang dimana letak kesalahannya??.Obrolan demi obrolan terus membawa kami mendekat ke arah Cikasur. Kami terpesona ketika tiba-tiba hamparan ilalang yang menguning terbaring berhektar-hektar di depan kami. “ini Alun-Alun kecil, kita makan siang di bawah pohon cemara gunung itu…” kata mas Nanda sembari menunjuk satu-satunya pohon Cemara Gunung yang berada diantara padang ilalang yang menguning. Aku takjub luar biasa. Indah.

Tangkai-tangkai ilalang itu menjulur ke jalan setapak seakan-akan ingin selalu membelai siapa saja yang melewati jalan kecil dan berdebu itu. Kami menyusuri savana dengan perasaan gembira, lelah yang tadinya menyusup diantara tubuh kami hilang seketika setelah kami menatap lekat indahnya savana Alun-alun Kecil. Makan siang kali ini begitu istimewa, bukan karena mie goreng instan kami berasa spaghetti, tapi karena kami makan siang di tengah-tengah savana beralaskan ilalang, beraromakan daun cemara yang mengering, dan dihibur dengan lambaian kabut yang terjun perlahan dari atas bukit. Sungguh, ini tempat makan siang paling luar biasa dalam hidupku. Mungkin juga menjadi tempat makan siang teristimewa bagi teman-teman yang lain. Makan siang kami tutup dengan camilan gula merah, rasanya manis sebagai tambahan kalori untuk perjalanan panjang seperti sekarang ini.

Kami melanjutkan perjalanan, kini jalur yang kami lewati berganti menjadi hutan cemara diselingi dengan padang ilalang. Di jalan kami sempat bertemu dengan dua orang ibu-ibu dan seorang anak laki-laki yang juga akan bermalam di Cikasur. Mereka akan mencari selada air atau arnong dalam bahasa lokalnya, sayuran ini hidup di sungai kecil di tengah luasnya savanna Cikasur.

Tepat pukul 16.00 WIB kami tiba di Cikasur dengan ketinggian 2.228 mdpl. Dingin sekali. Kabut sudah terlihat berjalan perlahan menyelimuti savana di bekas Bandara peninggalan Jepang ini. Ibu-ibu yang tadi bertemu kami di jalan tengah sibuk membuat perapian dan mengumpulkan ilalang kering untuk alas tidur mereka nanti malam. Kamipun saling membalas sapa dan senyum. Di tempatyang jauh dari apapun ini, bertemu dengan seseorang adalah hal yang paling menggembirakan.

Kami segera mendirikan tenda di antara puing-puing bangunan peninggalan Jepang, dengan harapan mendirikan tenda di tempat ini akan mengurangi terjangan angin. Pukul 18.00 WIB. Kami sudah makan malam. Cuaca sangat dingin. Kami sudah memakai baju hangat, tapi tetap saja badan kami menggigil kedinginan. Akhirnya kami memutuskan untuk berkunjung ke satu-satunya tetangga di Cikasur. Kami membawa segelas kopi. Ibu-ibu dan seorang anak laki-laki yang kukira berusia 14 tahun itu menyambut kami. Aku terheran-heran, mereka seperti tidak merasa kedinginan padahal mereka hanya memakai baju seadanya dan berselimut selendang tipis yang tidak jelas warnanya karena mungkin sudah berusia begitu tua. Malam ini mereka akan tidur di dalam shelter terbuka ini, beralaskan batang-batang ilalang kering, di temani kobaran api unggun dan berselimut terpal. Apakah mereka mampu menghalau dingin??.Mereka menjalani rutinitas ini seminggu sekali. Memanen selada air yang ada di pinggiran sungai di bawah Cikasur, membawanya pulang ke Baderan dengan cara di panggul berpuluh-puluh kilo meter jauhnya dan akan di jual ke tengkulak yang telah menantinya dengan harga dua ribu rupiah per ikatnya. Sungguh, pekerjaan yang berat, tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk menghasilkan uang.

Malam semakin tidak bersahabat, kami berpamitan untuk kembali ke tenda. Dingin malam ini seperti menembus ke sendi-sendi dan menyusup diantara tulang belulang padahal Sleeping Bag telah membalut tubuh kami satu persatu.Aku khawatir dan membayangkan bagaimana jika salah satu dari kami terserang Hipotermia, ah, bayangan itu semakin memperburuk keadaan. Aku segera berdoa memohon kepada Tuhan, agar malam ini segera berakhir dan kami semua tetap dalam kondisi sehat.

06.00 WIB. Syukur alhamdulilah, kami berempat di jauhkan dari serangan Hipotermia. Kami membuat sarapan pagi dan segera makan ketika menu telah siap. Pohon-pohon Cemara Gunung di sekitar Cikasur mulai terlihat kekuning-kuningan tersirat cahaya matahari pagi. Ilalang yang membeku terpeluk dingin perlahan mencair dan bersiap diguyur mentari pagi. Lagi-lagi suasana makan yang luar biasa.Kutenteng matrasku, kubawa ke tempat yang agak luas untuk menikmati pemandangan pagi sembari menyuapkan nasi ke mulutku. Terima kasih Tuhan…

07.00 WIB. Kami sedang packing di temani lagu-lagu ceria dari handphone Iben. Suasanahangat dan penuh canda disana sini, sampai akhirnya kabar duka itu datang. Telepon genggam milik Iben mampu menangkap signal, dan masuklah sebuah pesan singkat dalam handphonenya yang mengabarkan bahwa semalam, neneknya telah meninggal dunia di Surabaya. Iben menangis. Kami mengiburnya sambil berpikir keras langkah apa yang akan kita ambil. Setelah Iben mulai mereda, aku, mas Yusuf dan mas Nanda terlibat pembicaraan yang serius. Kami memutuskan untuk mengantarkan Iben kembali ke Baderan meskipun itu berarti kami harus menunda dulu perjalanan menuju puncak Rengganis. Acara packing kami lanjutkan kembali, tetapi kali ini tanpa ada candaan. Semuanya diam, semuanya sedang bersatu dengan pikiran masing-masing. Akupun demikian. Aku sedih harus meninggalkan Cikasur tanpa bisa mengecup indahnya puncak Rengganis, tapi aku tidak akan egois. Iben harus segera pulang dan memberi penghormatan terakhir kepada neneknya.

Ingin kugenggam dingin itu,

Ilalang yang menguning dan tergoyang tertiup angin

Ingin ku genggam cemara gunungnya, agar tak lepas tercecer dan terjerat kembali ke titik awal…

Pun ketika tetesan air mata duka itu terjerumus diantara puing-puing bangunan peninggalan Jepang di Cikasur,

Aku masih ingin memeluk dinginnya…

Cikasur…

Bahkan matakupun tak puas merangkul savananya yang menguning bermandikan cahaya matahari

Riuh rendah, berkecapi serangga dan angin

Pagi ini: harus kusimpan dulu keinginanku, harus kuredam dulu Edelweis, Lavender dan Cemara Gunungku,

Akan kurangkaikan nanti, ketika Tuhan telah bersambut…

Cikasur

08.59 WIB

29 Juni 2012

09.00 WIB. Kami telah berjalan meninggalkan camp Cikasur menuju ke Baderan. Dari atas, kami melihat ibu-ibu dan seorang anak laki-laki tengah memasukkan selada air ke dalam karung-karung besar. Terbersit dipikiranku agar Iben kembali ke Baderan bersama mereka, tetapi sebelum kuutarakan niat itu kepada Iben, mas Nanda telah menawari Iben untuk kembali ke Baderan bersama mereka dan kami bertiga yaitu aku, mas Yusuf, dan mas Nanda tetap melanjutkan perjalanan menuju ke pos selanjutnya yaitu Cisentor. Iben menyetujui usul dari mas Nanda, dan mas Nanda segera menghampiri ibu-ibu itu untuk mengutarakan niatnya. Pukul 09.15 WIB kami melepas kepergian Iben dari seberang sungai. Berat membiarkannya pulang ke Baderan sendirian, tetapi menurut kami ini adalah keputusan yang paling tepat.

09.30 WIB. Matahari mulai meninggi. Kami berjalan di pinggiran savana. Medan menuju Cisentor menurut mas Nanda tidak begitu berat, hanya savana dan hutan Cemara. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, kepulangan Iben membuat suasana berbeda dalam team kami. Perjalanan menuju Cisentor memang tidak terlalu berat. Lepas dari hutan Cemara, jalur berganti jalanan menurun mengitari bukit-bukit kecil. Jalurnya sempit dan bersebelahan dengan jurang yang tertutup semak-semak.Tepat ketika kami berada di puncak salah satu bukit, Cisentor terlihat jelas di bawah bukit berhiaskan beberapa tenda yang berdiri kokoh tanpa penghuni. Kami mempercepat langkah, tidak sabar ini segera meneguk beningnya air sungai di ujung turunan yang tengah kami lewati.

13.30 WIB di Cisentor. Kami bahagia melihat tenda-tenda yang berdiri tanpa penghuni, kami pikir ini adalah tenda team pendakian dari Probolinggo yang salah satunya adalah teman kami yaitu Ahmad Sauqi, selain itu kami juga senang karena malam ini kami punya tetangga. Kami membagi tugas, mas Nanda dan mas Yusuf mendirikan tenda. Aku mendapat tugas memasak. Kami memutuskan untuk ke puncak Rengganis besok pagi, karena jika dipaksakan berangkat sore itu juga pasti akan kemalaman di jalan, selain itu juga kami tidak ingin tergesa-gesa pulang jadi tidak ada masalah jika menginap dua malam di Cisentor. Pemilik tenda-tenda itu akhirnya datang.Dugaan kami keliru, ternyata mereka bukan team pendakian yang berasal dari Probolinggo, melainkan team pendakian dari Granica Situbondo.Mereka baru saja melakukan perjalanan ke puncak Rengganis.Kami bercengkrama, bertukar cerita sembari mengitari api unggun dan menyeduh kopi. Cuaca di Cisentor juga tidak kalah dingin dengan cuaca di Cikasur. Pukul 20.00 WIB kami berpamitan untuk istirahat terlebih dahulu. Besok pagi-pagi kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak Rengganis. Perjalanan yang sedari awal telah kunanti-nanti. Semoga kami bertiga mampu menuntaskan perjalanan ini.Semoga kami mampu menatap dan menikmati indahnya puncak Rengganis. Amin.

30 Juni 2012.

05.30 WIB di Cisentor. Kami tengah memasak dan menyiapkan keperluan yang akan dibawa dalam perjalanan menuju puncak Rengganis. Setelah sarapan selesai, sekitar pukul 08.00 kami berangkat menuju puncak Rengganis. Jalur menuju puncak juga tidak begitu sulit, hutan Cemara dan kebun Edelweis (Anaphalis sp) yang tingginya kira-kira lebih dari tujuh meter terus menemani perjalanan kami. Baru kali ini aku melihat pohon Edelweis bisa tumbuh setinggi ini. Batang-batang pohonnya terlihat menghitam dan berlumut, mengisyaratkan bahwa usianya jelas telah berpuluh-puluh tahun. Pukul 10.00 WIB kami sampai di Rawa Embik. Kami istirahat sejenak sambil mengisi botol-botol kosong dengan air yang ada di sungai kecil dekat tempat camp. Setelah merasa segar, kami kembali melanjutkan perjalanan. Vegetasi menuju puncak masih dihiasi hutan Cemara dan diselingi dengan Edelweis yang berhamburan dimana-mana. Jalur mulai menanjak, dan banyak pohon tumbang melintang di jalan yang sedikit menghambat perjalanan kami. Kami terus bergerak, dari kejauhan puncak Rengganis telah terlihat bertengger dengan agung.Tinggi, kokoh dan terlihat keputih-putihan karena didominasi oleh batu kapur. Kami semakin bersemangat menapaki jalur yang menanjak.“ ini tanjakan terakhir, setelah ini kita akan melihat puncak Rengganis…” kata mas Nanda memberiku semangat sembari menemaniku istiharat. Aku kecapean, datang bulan hari pertama membuat kondisi tubuhku tidak sesehat biasanya, tapi aku berusaha melawan dengan terus berjalan. Mas Nanda memang benar, ujung dari tanjakan berbatu di bawah hutan Cemara ini adalah hamparan batu kapur yang dihiasi bunga Edelweis dan sisa-sisa bangunan zaman dahulu.Ada bekas anak tangga, bekas ruangan-ruangan yang dindingnya juga terbuat dari batu kapur, dan banyak tumpukan batu disana-sini.Rengganis masih ada di atas. Kami hanya butuh mendaki jalanan batu kapur itu sedikit lagi.

11.16 WIB. Kami sampai di puncak Rengganis. Rasa syukur terus kuucapkan karena telah diizinkan ada di tempat yang begitu indah di atas ketinggian ini. Kami saling berpelukan, saling mengucapkan selamat satu sama lain. Inilah puncak Rengganis yang begitu manis. Puncak yang dari awal telah kusimpan dalam hati, kujaga semangatnya, dan kuwujudkan lewat langkah demi langkah bermula dari desa Baderan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Sungguh, ini adalah pengalaman yang luar biasa. Tak lupa ku kecupkan puncak Rengganis yang begitu manis ini untuk adikku: Hasni Megawati yang tidak bisa ikut dalam team pendakian ini karena masih dalam masa penyembuhan pasca diserang oleh penyakit Hepatitis.”Puncak Rengganis masih setia untuk kau temui dik, bersegeralah menyiapkan segala sesuatunya”. Kami berjalan mengelilingi puncak yang begitu luas itu. Menikmati kawah kaldera yang telah berusia ratusan tahun yang berada disisi sebelah kanan dari puncak Rengganis. Kami mengabadikan beberapa foto. Puas menikmati pemandangan puncak, kami segera menikmati makan siang. Kali ini menu yang tersedia adalah jenang dodol peninggalan Iben, biskuit, mie kuah instan, dan susu panas. Kami bertiga makansiang di atas ketinggian3.071 mdpl, ditemani puing-puing reruntuhan tempat persembayangan Putri Rengganis sebagai landscapenya, dan langit yang mengharu biru sebagai selimut di atasnya, sempurna. Kami tidak bisa berlama-lama berada di puncak, perjalanan kembali ke Cisentor telah menanti, maka sekitar pukul 12.30 WIB kami berangkat meninggalkan puncak Rengganis menuju Cisentor. Terimakasih telah memberi kami kesempatan untuk merasakan bahagia, haru dan bangga.

15.30 WIB kami tiba di Cisentor. Team pendaki dari Situbondo telah berangkat menuju Cikasur pagi tadi, tapi di bawah di dekat sungai terlihat ada satu tenda berdiri. Kami mengampiri mereka, ternyata mereka adalah team pendakian dari Jember. Mereka hanya berempat, tapi itu tidak jadi masalah untuk kami, karena kita sudah saling mengenal ketika ada di Jember. Kami berkumpul bersama, memasak sambil membuat api unggun. Selamat malam Cisentor, tempatmu yang berada di lembah diantara bukit-bukit membuat kami seperti terlindungi, terangkul oleh kokohnya jejeran bukit, kami merasa tentram…

1 Juni 2012, 05.30 WIB.

Pagi ini kami akan berangkat menuju Taman Hidup. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum memulai perjalanan sudah pasti harus memasak, sarapan, dan packing. Menu pagi ini untuk menyambut panjangnya perjalanan dari Cisentor menuju Taman Hidup adalah sayur sop, kering tempe, omelet, dan tempe goreng. Kami makan bersama. Nikmat dan puas rasanya. Apalagi sepanjang perjalanan cuaca selalu bersahabat, membuat kami semakin tidak tertarik untuk buru-buru pulang dan berkumpul kembali dengan rutinitas.

Cisentor, pukul 09.15. Kami tengah bersiap untuk memulai perjalanan menuju Taman Hidup, perjalanan kali ini akan sedikit ramai karena team yang berasal dai Jember beranggotakan empat orang juga akan menempuh perjalanan ke Taman Hidup bersama kami. Pasti akan terasa berbeda dan menyenangkan. Kami menyusuri hutan Cemara dengan jalur yang sering kali tertutup dengan rumput setinggi tubuh laki-laki dewasa. Kami harus hati-hati, terkadang pohon tumbang terbaring begitu saja di tengah jalur, kami harus melompatinya, atau terkadang harus menerobos melewati bagian bawahnya. Jalurnya menanjak dan mengitari bukit-bukit, tidak jarang tangan atau kaki kami tergores oleh daun “jancuk’an”istilah muncul dari teman-teman pendaki untuk Gardenia palmatakarena ketika kita tergores atau menyentuh pohon itu akan terasa panas dan gatal di kulit.

Lelah menyusup diantara beratnya beban dalam tas carier dan langkah kaki yang semakin lambat. Kami bertiga butuh istirahat makan siang. Pukul 14.00 WIB kami istirahat dan makan siang di Cemoro Limo, sedangkan team dari Jember yang berangkat menuju Taman Hidup bersama kami memilih untuk melanjutkan perjalanan. Setelah istirahat dan makan siang, kami segera melanjutkan perjalanan menuju Taman Hidup, kami menginginkan sebelum jam 17.00 WIB kami sudah sampai di Taman Hidup. Kami menyusuri jalur yang telah rapat tertutup rumput, dan sisi sebelah kanan jalur tersebut adalah jurang, kami meningkatkan kewaspadaan. Sekitar satu jam berjalan di jalur yang tertutup rumput dan berdebu, kini vegetasinya berubah menjadi pepohonan yang lebih heterogen. Inilah yang disebut dengan hutan Lumut, mungkin karena banyak lumut yang bergelantungan di pohon-pohon dan karena banyaknya jumlah lumut ini membuat hutan terlihat sedikit lebih gelap dan suram. Kami terus berjalan, jalur dalam hutan Lumut ini tergolong datar, hal tersebut memudahkan kami untuk mempercepat langkah agar segera sampai di Taman Hidup.

Pukul 17.00 WIB, kaki kami akhirnya mendarat juga di Taman Hidup. Lelah dan lapar, tapi kami cukup bersyukur karena tidak sampai kemalaman di jalan. Kedatangan kami langsung disambut oleh beberapa teman pendaki gunung yang berasal dari Bogor. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, kami mendirikan tenda dan segera memasak. Rasa lelah dan lapar membuat pergerakan kami semakin cepat untuk segera menyelesaikan tugas kami masing-masing. Akhirnya pukul 18.30 WIB tenda sudah berdiri dan makan malam telah siap. Menu malam ini adalah mie goreng instan, kering tempe, dan telur dadar. Selesai menyantap makan malam, kami memutuskan untuk langsung beristirahat. Lelah dan letih yang kami rasakan sejak siang tadi harus tergantikan dengan istirahat yang cukup.

2 Juni 2012.

Pagi hari. Ini adalah hari terakhir kami berada di pegunungan Argopuro. Banyak hal yang telah kami lewati selama enam hari berada di dalam lebatnya hutan Cemara dan tingginya bukit. Semua hal tersebut adalah pengalaman berharga untuk bekal menghadapi hidup selanjutnya, seberapapun pahitnya. Pegunungan Argopuro menyimpan daya tarik dan keindahan yang begitu luar biasa dan juga akan menguji siapapun yang ingin menelanjangi keindahannya.

Pukul 09.00 WIB. Kami sudah mulai melangkahkan kaki meninggalkan Taman Hidup menuju desa Bremi. Jalur menuju desa Bremi sepenuhnya adalah tanjakan tajam. Kondisi kaki yang sudah tidak stabil membuat perjalanan kami terhambat. Kami harus pelan-pelan menuruni turunan terjal tersebut. Dua jam berada dalam hutan dengan jalur yang cukup menyiksa kaki, akhirnya vegetasipun berubah. Kini yang tampak adalah pohon Damar (Aghatis alba) yang mendulang tinggi. Sayup-sayup terdengar deru suara mesin kendaraan bermotor. Desa Bremi sudah di dekat mata. Kami terus berjalan, dan akhirnya sampai juga di jalanan aspal yang akan mengantarkan kami menemui sopir angkutan umum yang akan membawa kami ke Besuki. Setelah memberikan Simaksi ke polsek Bremi, kami istirahat sebentar di warung sembari menunggu angkutan. Kami saling menceritakan pengalaman masing-masing, ketakutan-ketakutan kami, kekonyolan-kekonyolan kami, dan cerita-cerita tersebut membuat suasana menjadi hangat dengan gelak tawa.Semuanya indah, semuanya menarik, semuanya tidak ada yang sia-sia. Terimakasih Argopuro, terimakasih mas Nanda, terimakasih mas Yusuf, terimakasih Iben, terimakasih Cikasur, terimakasihCemara Gunung, terimakasih bunga Edelweis, Lavender, semuanya akan tetap abadi tersimpan rapi di dalam sebuah tempat bernama hati. Terimakasih. Rengganis yang selalu manis.

Bilakah rasa akan kembali dan menemukan bukitnya?

Ketika lelah dan peluh berbalut mengikat asa,

Keteguhan hatilah jawabannya…

Pun ketika rona-rona ambisi menguasai diri,

Keteguhan hatilah yang mencoba mendamaikannya,

Rengganis yang manis: seikat kisah menemukan keindahan bumi.

Tempatku, tempatmu, dan tempat kalian berdiri.

Berupalah Savana ilalang,

berupalah tebaran bunga Edelweis,

berupalah puing-puing bangunan zaman dahulu,

berupalah Cemara Gunung yang membusung,

berupalah dingin yang menyayat kain,

berupalah sebuah pagi yang memesona,

Maka bumi tempat kita berdiri tak lagi sama.

Terimakasih…

Terimakasih…

Terimakasih…

Rengganis punya banyak hal yang Manis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun