Mohon tunggu...
Galang Aji Prakoso
Galang Aji Prakoso Mohon Tunggu... Teknisi - impeesa

22 yo | journalist wanna be | aircraft technician | english enthusiast | travel addict

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Suku Baduy

14 Desember 2020   12:00 Diperbarui: 14 Desember 2020   12:10 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain buah-buahan, madu hutan dan aren yang cenderung bisa dipanen kapan saja juga menjadi sumber pundi-pundi bagi mereka. Tidak hanya bertani, beberapa warga lainnya memilih menjadi pengrajin yang memproduksi barang-barang kebutuhan mereka seperti pakaian, atap daun aren (atap rumah dari daun aren ini selalu diperbarui minimal setiap lima tahun sekali), perkakas dapur, dan sebagainya. Tak jarang, warga Baduy ini juga berburu  secara kelompok hingga berhari-hari di hutan. Hasil buruan biasa dinikmati bersama-sama. 

Meskipun hanya menanam padi sekali dalam setahun, warga Baduy tidak pernah kekurangan pangan. Cara mereka bertani secara organik, dapat menghasilkan padi yang berkualitas dengan kuantitas yang lebih banyak dari pertanian kimia. Lumbung-lumbung padi tempat mereka menyimpan harta, tidak pernah kosong. Malah cenderung bertambah jumlah lumbungnya. Kemandirian mereka dalam menyetok bahan pangan mereka sendiri, membentuk mereka untuk tidak bergantung pada subsidi pemerintah. Dalam aturan adat, padi hasil panen itu tidak boleh dijual (namun barter diperbolehkan).

Sekitar pukul 06.00, seluruh peserta trip telah bangun (kecuali Kang Atep yang tadi abis ngelembur hahaha) . Aku, bersama Arya dan Mumuf (dua mahasiswa UPI) berjalan-jalan ke sungai untuk memenuhi panggilan alam dan sekedar bermain air. 

Oh iya, meskipun seluruh kegiatan MCK di sungai dan tidak ada bilik penutup, tempat mandi laki-laki dan perempuan dipisahkan. Kami dilarang mandi menggunakan sabun, sampo,dan sebagainya. Sebagai gantinya, warga Baduy Dalam biasa menggunakan daun enje (kalau nggak salah) sebagai pengganti sabun dan sampo. Menurut mereka, sabun-sabun yang dibawa dari kota itu dapat mencemari air sungai, sumber kehidupan mereka. 

Setelah selesai memenuhi panggilan alam dan membasuh wajah, kami menyusuri perkampungan Cibeo. Suasananya sangat sejuk, teduh, dan menentramkan. Beberapa anak bermain tanah liat, dan beberapa bapak-bapak sedang berkumpul di sebuah rumah-rumahan dekat tanah lapang yang menurutku itu adalah titik tengah perkampungan. Mereka mengobrol dan sesekali melirik ke arah kami. Aku hanya mengangguk dari kejauhan. Setelah puas menelusuri perkampungan, kami kembali ke rumah Pak Sapri untuk sarapan.

Menu sarapan yang sederhana, menyambangi kesederhanaan di Baduy, membuatku berpikir bahwa bahagia itu sebenarnya juga sederhana. Setelah selesai sarapan, kami berkemas dan bersiap untuk perjalanan pulang. Sedih rasanya harus kembali ke rutintas secepat ini. 

Bertemu keluarga baru yang seru, kembali ke alam, solidaritas dalam perjalanan, semuanya adalah pelajaran berharga untukku di 6 September ini. Ke-ingin-tahu-an-ku pada kehidupan Baduy terjawab sudah. Namun, jika diajak kesini lagi-pun, tentu saja dengan senang hati. Baduy tidak akan cukup diselesaikan dalam satu episode, satu bab, atau satu kali kunjungan. Mungkin aku akan kesini lagi suatu saat . Ingin rasanya kembali kesini saat musim buah tiba.

Pukul 10.30 kami telah bersiap untuk berjalan lagi, kembali menuju gerbang peradaban. Kami bersalaman dengan ambu, dan mengucapkan rasa terima kasih karena sudah diterima di rumahnya untuk menginap dan belajar. Yaaa, aku menganggap perjalananku kali ini adalah sebagai pembelajaran, tentang segala hal yang telah aku sebutkan. Garis merahnya adalah kesederhanaan. 

Kali ini Ma'ang tidak ikut mengantar. Hanya Ayah, Aldi, dan Kamong. Kami kembali terpecah menjadi dua kelompok setelah melewati hutan lindung. Dan kali ini, aku ikut di kelompok belakang, yang dipimpin oleh Ayah dan Kamong. Kami berjalan santai menikmati udara segar hutan Baduy, ke-asri-an yang sebentar lagi kami tinggalkan dan tergantikan oleh asap kendaraan. 

Sejujurnya meskipun aku suka hujan seperti perjalanan kemarin, aku lebih suka cuaca yang cerah seperti ini. Perbukitan hijau dapat kulihat dengan jelas tanpa terselimuti kabut. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas dan mengambil air. Sudah kubilang kan, jalur tracking menuju Baduy ini adalah jalur air (ini berarti dua makna ya hehehe). Maksudnya adalah yang pertama, jika hujan turun, maka jalur yang kita lalui ini juga akan dilalui air. Hal inilah yang menjadi penyebab jalur menjadi sangat licin. Makna yang kedua, disepanjang jalur akan banyak sekali sumber mata air yang bisa ditemukan, makanya aku sebut jalur air. Kami juga mampir untuk mandi di sungai dekat jembatan akar (tempat iconic di perbatasan Baduy Dalam dan Luar). 

Saat sampai di perkampungan Baduy Luar, kami beruntung bisa melihat acara perkawinan ala Baduy Luar. Pukul 16.00 kami telah tiba di desa Cakuem (gerbang peradaban selain Ciboleger). Dari sini kami menggunakan elf untuk menuju Stasiun Rangkasbitung. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku naik elf bukan didalamnya, melainkan diatasnya (norak asli hahaha). Sangat seru dan cukup menguji adrenaline, ditambah ranting-ranting pohon yang kadang menyambar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun