Setelah beberapa saat, kami sampai di kampung pertama dari suku Baduy Luar. Disini, masyarakatnya sudah mengenal beberapa hal berbau modernisasi dan teknologi. Disini juga, para warga menjual pernak-pernik khas Baduy (dibeli yaaa, ini menyangkut perputaran ekonomi  warga lho). Setelah istirahat untuk keperluan dokumentasi dan konsumsi, kami kembali melanjutkan perjalanan.Â
Di perkampungan Baduy Luar, teknologi masih diperbolehkan untuk digunakan. Kami masih diperbolehkan untuk mengambil gambar sesuka hati (tetap jaga sopan santun dan jangan lupa meminta ijin jika ingin memotret penduduk).Â
Oh iya, track di perkampungan Baduy Luar masih sama seperti tadi, ditambah beberapa jembatan bambu sebagai akses penghubung kampung ke kampung. Â
Setelah beberapa perkampungan kami lewati, hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah sakral ini. Kami berteduh cukup lama di sebuah perkampungan Baduy Luar, bernama Kampung Gazebo untuk menunggu hujan berhenti atau setidaknya sedikit mereda.Â
Setelah sekitar satu jam, hujan mereda dan kami melanjutkan perjalanan menggunakan jas hujan. Jalur yang kami lewati seketika menjadi amat sangat licin. Selama kurang lebih lima jam, kami berjuang dibawah terpaan hujan yang terkadang mereda, terkadang deras (menyebalkan sekali karena awal-awal kami sempat lepas-pasang mantol) .Â
Selama kurang lebih lima jam pula, kondisi jalur masih seperti itu, hutan-kampung-hutan-kampung. Hingga setelah entah pukul berapa dan seberapa jauh, kami tiba di perbatasan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam.Â
Di perbatasan ini kami disambut oleh jembatan bambu tradisional dan tanjakan amat terjal setelahnya . Karena hujan masih deras , kami tak sempat berhenti untuk mematikan alat-alat elektronik kami di jembatan tersebut, sehingga kami baru bisa melakukannya saat sudah sampai di sebuah pondokan setelah jalur terjal yang bikin susah move-on (asliii, ngga nyangka banget jalurnya samlekom) .Â
Jalur track di Baduy Dalam ini, lima kali lebih sulit dibandingkan jalur di Baduy Luar. Jalurnya berupa jalan setapak yang sempit dan alami. Lebih banyak tanjakan yang akan kalian temui. Perkampungan juga sudah tidak terlihat lagi. Kondisi lebih tepatnya adalah hutan-ladang-hutan-ladang. Ladang disini adalah jenis ladang bukaan tadah hujan di perbukitan. Tak heran jika jalanan terjal menjadi hidangan sore kami (makan tuh! Jangan menyepelekan makannya). Â Masih dalam suasana hujan deras, jatuh bangun silih berganti kami rasakan.Â
Oh iya, setelah dari pondokan tadi, kami terbagi menjadi dua kelompok , depan dan belakang. Aku ikut kelompok depan bersama Bandung Squad dan satu warga Baduy Dalam yang belakangan aku tahu namanya adalah Pak Sarip ( akrab dipanggil ayah) . Ayah memimpin kami  didepan sebagai penuntun ( Ing Ngarsa Sung Tuladha) .Â
Selama berjalan dengan ayah, aku memiliki kesempatan untuk bertanya-jawab mengenai Suku Baduy (yang kepo PC aja, nanti aku kasih tau). Pembicaraan kami mengalir seiring derasnya hujan dan derasnya air di telapak kaki. Karena jalur setapak yang kami lewati, juga merupakan jalur air. Kondisi track semakin sulit, kanan kiri terkadang jurang yang curam, terkadang ladang.Â
Yang mengherankan adalah, setiap ada yang jatuh, maka orang dibelakang yang tadinya menertawakan atau sekedar menegur pun akan ikut jatuh tak lama sesudahnya. Dari sini aku mulai menjaga ketat omongan dan tingkah laku, apalagi sudah mendekati waktu Maghrib.Â