Oleh: Aji Septiaji
Keterampilan menulis sebagai salah satu penunjang kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan hal vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Semua yang tergabung dalam ruang lingkup masyarakat perlu memberikan kontribusi demi terciptanya masyarakat yang berpendidik dan maju. Dunia kepenulisan “memaksa” (dalam makna positif) seseorang untuk bertransformasi ke dalam dunia tersebut. Keterampilan menulis pun merupakan tingkatan tertinggi dalam keterampilan berbahasa. Jika kita bisa lebih memahami dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari tentu akan membawa pengaruh yang luar biasa, bukan hanya untuk dirinya namun juga bagi khalayak.
Begitu erat hubungan keterampilan menulis dengan jiwa masyarakat, karena begitu dekatnya dengan menulis maka ia tak bisa dilepaskan. Ketika seseorang membutuhkan informasi, ia akan mencari media informasi. Media informasi ada dua macam yaitu media lisan dan tulisan. Media lisan berupa informasi yang diucapkan dan diperdengarkan melalui televisi dan radio, sedangkan media tulisan ialah informasi yang dipublikasikan melalui surat kabar, buku dan majalah. Kedua media ini sangat berperan penting, jika tidak ada media tersebut masyarakat akan merasa terjebak dalam dunianya. Dunia yang kosong tanpa ilmu dan wawasan. Jika itu terjadi kita akan semakin tertinggal jauh dengan negara lain yang semakin hari semakin berkembang. Hal demikian akan menggambarkan bahwa kompetensi menulis kita masih rendah.
Tengoklah ke negara tetangga kita, Amerika dan Jepang. Mereka lebih dominan mengelola bahasa tulisan ketimbang lisan yang tentu didukung oleh tradisi membaca serta teknologi. Wajar saja jika ilmu pengetahuan mereka lebih berkembang cepat.
Sebagian orang berpandangan bahwa budaya kita adalah budaya lisan (orality), bukan budaya tulisan (literacy). Jauh sebelum zaman kuno, kurang sekali peninggalan sejarah kita dalam bentuk tulisan (prasasti, naskah), dan lebih banyak dalam bentuk cerita lisan (folklore), yang diwariskan turun-temurun. Agaknya, kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang (Kurniawan, 2010:259).
Pernyataan di atas semakin menambah jelas bahwa kompetensi menulis kita masih rendah dibanding negara lain. Kompetensi yang rendah bisa perlahan kita perbaiki apabila sama-sama memiliki keinginan untuk mengubahnya. Faktor utama yang menjadi pengubah ialah dari dalam diri. Jika kita sebagai mahasiswa atau guru, sudah selayaknya memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat. Di dalam ruang lingkup masyarakat tentu ada masyarakat yang berpendidikan dan kurang berpendidikan. Masyarakat berpendidikan didominasi oleh orang-orang intelek berwawasan luas, sedangkan masyarakat kurang berpendidikan didominasi oleh orang-orang yang belum sempat mengenyam manisnya pendidikan dan mereka cenderung masih kekurangan dalam pengetahuan maupun ekonomi. Masyarakat yang kurang berpendidikan ini lah yang perlu didukung oleh yang berpendidikan seperti guru, mahasiswa, dll. Upaya guru/mahasiswa untuk meningkatkan kompetensi yang rendah sangat beragam, satu diantaranya ialah melakukan penyuluhan bagi masyarakat yang masih terbatas dalam dunia kepenulisan.
Ketika ilmu pengetahuan mulai membaur dalam lingkungan masyarakat, akan terbentuk suatu kompetensi baru yang bisa membangkitkan rasa saling memperbaiki. Membangkitkan jiwa menulis memang memerlukan proses. Namun jangan jadikan menulis itu sebagai sesuatu yang baru tapi jadikan menulis itu sebagai tradisi, karena ilmu pengetahuan akan berkembang jika dibarengi dengan tradisi menulis dan membaca.
Wajar saja jika keterampilan menulis berada diurutan terakhir dalam empat keterampilan berbahasa, karena dianggap sulit. Namun kesulitan tersebut bukan berarti tidak bisa dipelajari dan dikuasai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H