[caption id="attachment_330724" align="aligncenter" width="504" caption="SBY makan durian bersama masyarakat di Purworejo, 24 Maret 2014 (Foto: Abror Rizki/Setpres)"][/caption]
Tak bisa dipungkiri SBY adalah penggagas dan pendiri Partai Demokrat. SBY bahkan dianggap sebagai figur sentral, meski sejak Demokrat berdiri pada tahun 2001 hingga 2013, ia tak menjabat sebagai ketua umum. Tak heran ketika partai ini mengalami keterpurukan, SBY dianggap sebagai satu-satunya sosok yang bisa mengembalikan kejayaan partai.
Itulah yang terlihat saat SBY bersedia menjabat sebagai ketua umum melalui Kongres Luar Biasa (KLB) pada Maret 2013. Tentu pilihan sulit bagi SBY. Namun langkah itu terpaksa diambil untuk menghindari semakin meluasnya perpecahan di tubuh partai, yang muncul pasca Kongres Bandung tahun 2010.
Di sisi lain SBY juga berkepentingan agar partai yang menjadi pemenang pada Pemilu 2009 ini tetap menjadi partai yang bersih dan tidak dikotori oleh ambisi-ambisi pribadi para petingginya yang hendak meraup keuntungan pribadi.
Bagi SBY, ini mungkin takdir yang tidak bisa dihindari. SBY dihadapkan pada pilihan dilematis antara persepsi dirinya di mata publik atau keselamatan partai. Tentu saja yang diharapkan terjadi adalah Partai Demokrat selamat, dan SBY berhasil menjalankan misi pemerintahan.
Sejak awal menjabat sebagai presiden tahun 2004, SBY sebenarnya telah menentukan sikap untuk tidak langsung memimpin partai sebagai ketua umum. SBY lebih memilih sebagai Ketua Dewan Pembina. Dengan tidak memimpin langsung, SBY bisa lebih memberi perhatian terhadap tugas-tugas di pemerintahan. Dan begitulah etika yang dipegang SBY selama bertahun-tahun.
Namun begitu, meskipun menjabat sebagai ketua umum partai, SBY tak lantas menyibukkan diri sepenuhnya kepada urusan-urusan partai. SBY menginginkan adanya ketua harian partai. Penunjukan Syarief Hasan sebagai ketua harian adalah pilihan rasional agar mesin partai bisa berakselerasi cepat menjelang Pemilu 2014, sementara SBY masih bisa fokus menjalankan pemerintahan. Hadirnya posisi itu dapat dipahami sebagai jaminan dari SBY bahwa ia tidak akan memberikan lebih besar porsi tenaga dan pikirannya kepada partai.
Dalam bukunya, Selalu Ada Pilihan, SBY mengatakan bahwa hubungan seorang presiden dengan partai politiknya haruslah tepat. Seorang pemimpin, presiden dalam hal ini, harus bisa mencegah terjadinya benturan kepentingan yang bisa terjadi. Bagi SBY, kepentingan partai dan pemerintah tidak boleh dicampuradukkan. Kekuasaan seorang presiden juga tidak boleh digunakan untuk kepentingan partai.
Ada beberapa prinsip yang dipegang SBY dalam hal ini. Pertama, presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai, kecuali yang diatur oleh undang-undang, misalnya untuk pengamanan presiden. Kedua, tidak menggunakan hari kerja untuk kegiatan partai. Ketiga, tidak menggunakan uang negara untuk membantu partai sendiri. Keempat, dalam kunjungan ke daerah, SBY selalu meminta simbol-simbol partai untuk penyambutan dirinya tidak berlebihan.
Empat prinsip itu dipegang betul oleh SBY. Marzuki Alie dalam sebuah pernyataan, misalnya, menjamin bahwa SBY tidak lebih mengurus partainya ketimbang negara. Meski begitu, masih saja ada suara-suara nyinyir yang mengatakan SBY lebih mementingkan partai ketimbang mengurus negara. Di alam yang serba bebas ini, tentu tak bisa melarang siapa pun berkata demikian.
Tentu saja SBY bukannya tidak sama sekali mengurus Demokrat. Di sela-sela waktunya di hari libur, SBY kerap menggelar rapat bersama jajaran pengurus pusat maupun daerah Partai Demokrat. Dan itu ia lakukan di kediamannya di Cikeas. Hal itu dilakukan untuk memastikan mesin partai berjalan dengan baik, terlebih menjelang digelarnya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mendatang.
SBY jelas seorang politikus. Namun dari caranya memisahkan antara mengurus pemerintahan dan partai menunjukkan ia adalah seorang negarawan. Seorang negarawan adalah karakter dan sikap yang mengedepankan nilai kebangsaan, melampaui egonya sebagai pemimpin partai politik. Jika seorang politikus memikirkan pemilu yang akan datang, maka negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Dalam konteks penataan sistem politik nasional, termasuk di dalamnya partai politik, prinsip itulah yang dipegang oleh SBY. Bagi SBY partai politik adalah sarana untuk menghadirkan generasi pemimpin nasional berkualitas, melalui mekanisme yang demokratis. Dari prinsip inilah ide SBY untuk menggelar konvensi calon presiden muncul. Konvensi yang digagasnya adalah untuk memastikan masyarakat tidak sekadar memilih tokoh populer, namun calon presiden yang kapabel.
Dalam hal kepemimpinan Partai Demokrat di masa mendatang pun SBY menegaskan jangan sampai bergantung kepada figur perseorangan. Bahkan dalam pidato politik yang disampaikan sebelum KLB ditutup, SBY mengungkapkan keinginan untuk “menghilang” di masa mendatang, agar Demokrat menjadi partai modern dan tak lagi bergantung pada dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H