[caption caption="Gambar : tribunews.com"][/caption]
Yang Mulia..betapa kata-kata ini terkesan sangat feodalistik, karena dengan memuliakan yang tidak mulia dan menyebunya menjadi Yang Mulia, terasa sangat dipaksakan..dan kata yang muliapun diucapkan dengan keterpaksaan. Alangkah indahnya kata yang mulia tersebut jika disematkan kepada yang patut untuk dimuliakan, karena benar-benar mulia dan dimuliakan secara sepantasnya.
Yang Mulia..betapa kata-kata ini terdengar sumbang, ketika yang dimuliakan tidak merepresentasikan kemuliaan, karena kata yang mulia hanya dikaitkan dengan sebuah lembaga yang disebut Mahkamah. Padahal kedudukan yang dimuliakan, harusnya mampu memuliakan diri, agar pantas untuk disebut dengan yang mulia.
Yang Mulia..betapa agung orang yang diposisikan sebagai yang mulia, karena yang menyebutnya pun memposisikan berada dibawah kelas yang dimuliakan, dan bersedia untuk dipanggil sebagai saudara, apa pun posisi jabatannya, dihadapan yang mulia maka kedudukannya berada dibawah posisi yang mulia.
Yang Mulia..hendaklah posisi yang mulia terlihat mulia dan berprilaku dan tindak-tanduk mulia, menjadi cerminan yang dimuliakan, bukan sekedar dimuliakan hanya karena keharusan aturan, demi sebuah kewibawaan lembaga mahkamah, karena wibawa mahkamah hanya bisa ditegakkan, jika yang mulia mampu bersikap adil, dan menjaga kehormatan mahkamah.
Yang Mulia..ketika yang mulia dimuliakan, maka semua kepentingan yang berbau partai harus dilepaskan, karena di mahkamah, yang mulia sedang memperjuangkan keadilan untuk kepentingan rakyat, dan yang mulia bertugas menjalankan kepentingan negara dan bangsa, bukan sedang menjalankan tugas partai.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H