[caption id="attachment_357847" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber foto : Tempo.com"][/caption]
Aklamasi demi sebuah Ambisi
Partai Politik merupakan wadah untuk mengembangkan pendidikan demokrasi, dalam sebuah demokrasi, pemilihan dengan metode Aklamasi bukanlah cara yang dikehendaki dalam sebuah proses berdemokrasi. Metode pemilihan secara aklamasi jelas sangat bertentangan dengan prinsif-prinsif berdemokrasi, karena pemilihan secara aklamasi pada dasarnya hanya sebuah seremoni, sejatinya yang dipilih sudah terpilih terlebih dahulu, aklamasi hanya tinggal seremonial pengukuhan.
Sungguh ironis, sebuah partai besar yang juga merupakan termasuk salah satu partai tertua di Indonesia, memberikan pembelajaran demokrasi yang tidak demokratis. Semua dilakukan sangat tergesa-gesa, hanya karena semata memikirkan kepentingan politik segelintir orang, yang berambisi terhadap sebuah kekuasaan. Demi kepentingan tersebut, para elit partainya rela memecah belah soliditas partai, dan mengabaikan keagungan demokrasi.
Memang dalam sebuah organisasi, kesamaan visi adalah menjadi hal yang utama, tapi diatas hal tersebut tetaplah kepentingan. Itulah politik, tidak ada berpolitik tanpa kepentingan, tapi untuk mencapai tujuan dari kepentingan tersebut sangat diperlukan norma dan etika berpolitik. Ketika sebuah tujuan tercapai, dengan menghalalkan segala cara, maka dengan demikian berpolitik tidak lagi mengedepankan norma dan etika, dan hal seperti itu dewasa ini menjadi hal yang biasa.
Munas Golkar IX di Bali, sudah memporakporandakan sistem pemilihan yang demokratis, dimana Aburizal Bakri (ARB) kembali terpilih secara "Aklamasi" sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2014 - 2019. Memang sistem pemilihan secara Aklamasi bukanlah barang yang haram dalam politik, tapi tata cara dan rekayasa yang terjadi didalam Munas tersebut adalah sesuatau yang memang sudah direncanakan sesuai dengan tujuan, apa pun caranya ARB harus kembali memimpin partai Golkar.
Dengan terpilihnya ARB sebagai Ketum Partai Golkar, maka partai Golkar terbelah menjadi dua, Partai Golkar versi Aburizal Bakri dan Partai Golkar versi Agung Laksono. Agung Laksono menganggap hasil Munas Golkar IX di Bali inkonstitusional, ntuk itu partai Golkar versi Agung Laksono akan melaksanakan Munas Golkar tandingan awal Januari 2015, sebaliknya Golkar versi Aburizal Bakri menganggap, diluar Partai Golkar pimpinannya bukanlah bagian dari partai Golkar.
Sebagai partai yang tergolong partai yang tertua di Indonesia, seharusnya para elit Golkar tersebut memberikan pembelajaran politik yang baik bagi generasi muda Indonesia, tapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Ambisi terhadap kekuasaan begitu sangat menggebu, ARB bahkan mempunyai target, 70 % Kepala Daerah nantinya merupakan kader partai Koalisi Merah Putih (KMP), dengan demikian harapannya kedepan, pemerintahan baik pusat maupun didaerah dikuasai oleh KMP. Mungkin inilah yang menjadi keharusan bagi ARB untuk memimpin Partai Golkar kembali, disamping itu juga dengan adanya Golkar ditangan ARB, maka KMP akan tetap solid dan bisa terus melaksanakan ambisi politik lima tahun kedepan.lihat sini
Sumber foto : Tempo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H