Tidak Salah kalau masyarakat diberikan pemahaman apa itu radikalisme dan bahayanya radikalisme. Jadi tidak ujug-ujug pemerintah bertindak melalui komponennya di kabinet, lantas menarasikan radikalisme secara tidak tepat.
Bayangkan kalau tiba-tiba Menko Polhukam, Menhan, Mendagri, Mendikbud, serta Menag serentak dengan narasi yang sama memerangi radikalisme, seperti apa gaduhnya negara ini.
Padahal rekonsiliasi politik yang baru saja dilakukan paskapemilu, adalah untuk menciptakan kondusifitas keadaan dari keriuhan berbagai perbedaan pilihan.Â
Kalau tiba-tiba kembali gaduh atas dasar deradikalisasi, itu artinya pemerintah sendiri sudah melakukan tindakan yang radikal.
Visi deradikalisasi itu harus jelas, begitu juga implementasinya. Deradikalisasi itu tidak bisa diselesaikan dengan cara yang  radikal. Boleh saja pemerintah menjadikan pemberantasan radikalisme sebagai prioritas, namun tidak serta merta semua bergerak dengan pola dan cara masing-masing.
Deradikalisasi harus diformulasikan sebagai sebuah gerakan persuasif, melalui pendekatan lewat mediator penceramah, untuk men-counter ceramah-ceramah yang ekstrim ditempat peribadatan, dan itu bukan cuma tempat peribadatan umat muslim.
Radikalisme itu tidak melekat cuma pada umat muslim, penceramah non muslim pun ada juga ekstrim. Membendung ruang gerak ekstrimis agama dengan masuk pada kantong-kantong peribadatan yang sudah terlebih dahulu diindikasikan radikal, adalah bentuk upaya persuasif.
Persoalan ini sangatlah sensitif, jangan sampai pemerintah malah blunder kalau salah dalam strategi. Lihat saja pernyataan Menag, Fahrul Razi yang begitu frontal, tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang, seketika langsung menjadi polemik.
Pernyataan Menag itu sendiri tergolong ekstrim dan radikal, mudah dipelintir dan digunakan pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan pemerintah. Kalau sampai apa yang dikatakan pak Menteri tersebut menjadi biang keributan, maka Pemerintah blunder dalam menyikapi radikalisme.