Bahayanya media sosial sudah banyak memakan korban, tidak sedikit pelaku ujaran kebencian yang dijerat Undang-Undang Imformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun tetap saja tidak mengurangi perbuatan tersebut.
Frekuensi kebencian dan antipati terhadap pejabat publik dilingkaran kekuasaan ditenggarai karena melemahnya komunikasi sosial antara pejabat publik dengan masyarakat. Pernyataan ini bisa diamini. Bahkan frekuensi kebencian hampir berbanding lurus dengan jumlah pengguna media sosial.
Memang ada distorsi komunikasi sosial, namun bukan berarti itu bisa dijadikan pembenaran untuk mengumbar kebencian di media sosial sampai diluar batas kewajaran.
Seberapa bencipun terhadap pejabat negara, tetaplah harus punya rasa hormat dan rasa simpati disaat dia terkena musibah, bukan malah mengumbar kebencian.
Itulah cara menjaga komunikasi sosial antara rakyat dan pejabat. Meluapkan kebencian di media sosial bukanlah cara yang tepat, karena ada Undang-Undang yang harus dipatuhi bagi pengguna media sosial.
Apa lagi kebencian tersebut diluapkan kepada pejabat negara yang sedang menghadapi musibah, dimana sejatinya rasa simpati yang perlu dikedepankan, bukanlah kebencian.
Korban kasus Wiranto
Seperti kasus yang dialami Menko Polhukam Wiranto, betapa banyak respon yang sangat negatif di media sosial, tapi tidak sedikit juga yang simpati terhadap apa yang dialami beliau.
Sudah ada yang menuai hasil dari perbuatannya tersebut, karena memang penerapan UU ITE yang digencarkan pemeritah, sudah banyak memakan korban.
Kalau masyarakat dengan strata sosial menengah kebawah terjerat UU ITE, bisa jadi karena tidak memahami bahwa dalam bermedia sosial ada aturan dan ancaman dari UU tersebut.
Tapi ketika yang melanggar UU ITE adalah masyarakat dengan strata sosial menengah keatas, sungguh sangat disayangkan, karena dengan klasifikasi sosial tersebut harusnya sudah memahami adanya ancaman UU ITE.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!