Seorang teman yang juga penulis sangat panas kupingnya ketika Tempo meminta agar buzzer Istana ditertibkan. Salah apa buzzer kok harus ditertibkan. Boleh gak kalau kita bilang Tempo harus ditertibkan, karena sudah melecehkan kepala negara dengan illustrasi sampul depannya.
"Saya ini buzzer yang sering terima bayaran dari korporasi, saya juga pernah jadi buzzer Istana, sewaktu Pilpres kemarin, tapi saya bukan Jokower lho.." katanya.
Terus saya biarkan dia mengeluarkan uneg-unegnya terhadap Tempo, yang diplesetkan menjadi Tempe.
"Saya tanya sama kamu, kenapa itu Tempe menyerang buzzer Istana..karena sakit hati diserang sama buzzer Jokowi, saya meskipun bukan Jokower..saya juga marah kalau kepala negara dilecehkan seperti itu". Ujarnya lagi.
Memang pada Pilpres 2019 dia kerap terima order untuk menulis tentang pasangan Jokowi-Ma'ruf, tapi saya pikir sebagai seorang buzzer profesional wajar saja sih dia menerima pekerjaan tersebut, toh dia mengakui bukan pendukung fanatik Jokowi.
Selepas Pilpres dia tetap menjalankan profesinya sebagai buzzer dari korporasi. Tidak bisa dipungkiri di zaman internet, dan, media sosial membuka peluang berbagai profesi, dan itu pilihan hidup yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Apakah menjadi buzzer politik bisa merusak reputasi seorang buzzer.? Memang makna buzzer menjadi peyoratif karena keterlibatan buzzer dalam politik.
Ada yang berpendapat, keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sumber
Perilaku seperti itu bukan cuma dilakukan oleh buzzer Jokowi, buzzer lawan politik pun sama. Kita pernah tahu seperti apa Saracen mengelola berbagai akun "hantu" untuk menyebarkan berita hoaks, untuk menyerang Jokowi, secara naif, semua ditelan pembenci Jokowi secara mentah-mentah.
Ada satu group yang sama dengan lebel Muslim Cyber Army (MCA), dan beberapa media online yang lahir hanya untuk kebutuhan Pilpres, yang seperti ini malah tidak ada yang gubris saat itu, kenapa baru sekarang buzzer Istana dianggap perlu ditertibkan.
Kenapa Tempo saat itu tidak gerah dengan buzzer lawan politik Jokowi.? Disinilah persoalannya, mungkin Tempo kehilangan netralitasnya untuk melihat sesuatu secara objektif. Tempo butuh sesuatu yang bombastis untuk meningkatkan traffic pembacanya.