Romli menyarankan agar presiden segera segera mengundangkan hasil revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pertengahan September 2019 dan mempercepat pelantikan pimpinan KPK yang baru. Presiden bisa melanggar UU jika menerbitkan Perppu sebelum UU tersebut diundangkan.
Senada dengan pendapat Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, penerbitan Perppu terkait UU KPK yang baru disahkan DPR inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa, meskipun itu hak prerogatif presiden yang bersifat subjektif.
"Meskipun penerbitan perppu merupakan hak prerogatif presiden dan bersifat subyektif, tetapi penerbitan perppu terhadap UU KPK menjadi tidak konstitusional. Sebab, perppu tersebut tidak memenuhi syarat kondisi 'kegentingan yang memaksa', sebagaimana parameter yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," kata Indriyanto, di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Syarat kegentingan memaksa dalam penerbitan Perppu merupakan parameter yang diisyaratkan UUD 1945, dan bisa ditafsirkan secara beragam. Inilah yang menjadi fokus pembahasan Pakar Hukum Tata Negara Dr Fahri Bachmid SH MH.
Fahri mengemukakan, secara konstitusional, pranata penetapan Perpu berdasar pada tahapan terjadinya keadaan genting yang memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau ada kebutuhan yang mengharuskan atau reasonable neccesity.
Dalam konteks keadaan darurat legal reasoning untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah, harus ada sifat bahaya atau dangerous threat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, disertai oleh kebutuhan reasonable neccesity, dan kegentingan waktu limid time sebagaimana diatur dalam Pasal 22.
"Nah berdasar pada kondisi di atas dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar Presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perppu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Perppu KPK berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi dan mengancam kewibawaan Presiden sebagai The Sovereing Power atau The Sovereing Executif berdasarkan logika hukum tata negara darurat," ujar pria kelahiran Waimangit, Kabupaten Pulau Buru, Maluku ini.
Jadi dari ketiga pakar hukum tata negara diatas, baik Romli Atmasasmita, Indriyanto Seno Adji, dan Fahri Bachmid, mengingatkan penerbitan Perppu KPK berpeluang untuk terjadinya pelanggaran konstitusi.
Namun bagi Mahfud MD, dari tiga langkah yang bisa ditempuh untuk mengoreksi atau membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan DPR, hanya penerbitan Perppu yang lebih memungkinkan dibanding judicial review, maupun legislatif review.
Semua terpulang kepada keputusan presiden nantinya, apakah tetap akan menerbitkan Perppu KPK, atau akan mempertimbangkan saran-saran dan masukan dari para pakar hukum tata negara. Wallahu'alam.
Sumber: Satu / Dua / Tiga / Empat