Memang apa yang dilakukan KPK cukup menaikkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dari 37 naik satu poin menjadi 38 untuk tahun 2018, namun kerja KPK akan terasa lebih efektif lagi jika sanksi hukum yang diterapkan pada pelaku Tipikor lebih berat lagi, yang dapat memberikan efek jera pada Koruptor. Sumber
Sinergisitas antara KPK dengan lembaga penegakan hukum lainnya, juga lembaga pemasyarakatan harus lebih baik lagi. Tidak terkoordinasinya kerjasama antar lembaga akan mempengaruhi efetivitas Pemberantasan korupsi.
Lihat saja para Koruptor merasa nyaman-nyaman saja di lembaga pemasyarakatan. Sebagai tersangka korupsi, mereka adalah binaan lembaga pemasyarakatan. Istilah binaan ini sangat subjektif, tidak terpantau secara efektif dalam kesehariannya.
Yang lebih hebatnya lagi, para Koruptor ini tidak kehilangan hak politik. Mereka tetap bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, juga tetap bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Inilah istimewanya Koruptor dinegeri ini.
Jadi tidak heran kalau OTT KPK hampir rerata orang-orang yang terkait dengan Pemerintahan, seperti, Kepala Daerah, Anggota Legislatif, dan direksi BUMN. Inikan orang-orang yang berada digarda terdepan, penentu kebijakan.
Korupsi adalah kejahatan sindikasi yang terorganisir, yang pelakunya berjamaah dalam menguras uang rakyat. Makanya kejahatan korupsi tergolong Extra Ordinary Crime, bukan kejahatan biasa. Seharusnya sanksi hukum yang diterapkan lebih berat lagi.
Betapa geramnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, begitu tahu beberapa direksi BUMN tertangkap tangan KPK. Sri mencap mereka sebagai penghianat negara, dan perilaku tersebut bisa merusak kinerja karyawan dilingkungan BUMN.
Sebagai masyarakat tentu saja kita juga mengecam tindakan tersebut, tapi wewenang masyarakat cuma sebatas menggugat Undang-Undang yang dihasilkan DPR, sementara kejahatan korupsi sendiri banyak menjerat kader Partai politik, baik di lembaga legislatif, maupun yang menjadi kepala Daerah, juga di Kabinet.
Apalah daya masyarakat, kalau semua kekuasaan ada ditangan Partai politik, yang sudah sangat oligarkis. Semua dikooptasi dan diorganisir sesuai dengan kepentingan politik partai. Inilah yang harus diawasi. Kita tidak bisa membiarkan Partai politik mengangkangi Pemerintahan dengan seenaknya.
Mahasiswa yang menyalurkan aspirasinya haruslah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang argumentatif, tahu persoalan dan mengerti apa yang menjadi tujuan, bukan sekedar ramai dan banyak, tapi cuma menjadi buih dilautan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H