Sangat terasa kepergian Bapak BJ Habibie, seakan-akan Tuhan tidak lagi menyisakan Tokoh Panutan di Negeri tercinta ini. Seakan-akan beliau adalah tokoh terakhir yang masih tersisa dinegeri.
Wajar saja ada pemikiran seperti itu, karena saat ini hampir setiap hari kita melihat apa yang dinamakan Tokoh bangsa, dengan mudah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang merendahkan orang lain, bukan malah memberikan kesejukan ditengah berbagai ketengangan dan karut-marut keadaan.
Itulah yang akhirnya membuat ketokohan beliau semakin kuat diingat dihati, karena pembandingnya semakin jauh dari sikap ketokohan itu sendiri. Pak Habibie betul-betul bisa menempatkan diri sebagai bapak Bangsa.
Saya adalah salah seorang yang awalnya berpikir bahwa beliau merupakan bagian dari Rezim Orde Baru, sehingga ketika beliau pidato laporan pertanggungjawabannya sebagai Presiden, di Ruang Sidang Umum MPR 1999, saya termasuk orang yang menyambut puas ketokan palu Amien Rais sebagai Ketua MPR.
Tapi setelahnya saya tersadar bahwa saya masih terseret oleh eforia tumbangnya Orde Baru, dan baru menyadari kalau pada kepemimpinan Bapak BJ Habibie banyak perubahan yang mendasar sudah dilakukannya. Seketika itu juga saya merasa sedih mengingat beliau di bully saat memasuki ruang sidang Parlemen.
Amien Rais sukses memainkan perannya dalam mematahkan harapan Pak Habibie untuk melanjutkan memperbaiki keadaan Indonesia. Banyak yang menginginkan agar beliau kembali Ikut mencalonkan diri sebagai Presiden, namun beliau menolaknya.
Jawaban beliau sangat menohok, dan membuat hati pilu mendengarnya. "Bagaimana mungkin saya bisa mengajukan diri sebagai calon Presiden, pada kenyataannya Laporan pertanggungjawaban saya sebagai Presiden baru saja ditolak."
Padahal beliau menjabat hanya lebih satu tahun, tapi diawal kepemimpinannya, beliau menyelamatkan Indonesia yang hampir sekarat, menerima warisan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar hampir Rp. 17.000.
Namun Pemerintahannya bisa menurunkan nilai tukar rupiah turun drastis menjadi Rp. 6.000,- luar biasa.
Rupanya begitu perekonomian mulai stabil, orang-orang yang mabuk dengan kekuasaan kembali bermunculan, padahal disaat Indonesia hampir terpuruk semua menghilang dan berusaha menyelamatkan kekayaannya.