"Sebagai sebuah karier, Gojek tidak memiliki masa depan. Anak-anak muda kita layak mendapatkan yang lebih baik," kata dia.
Lebih lanjut Shamsubahrin mengatakan bahwa budaya Indonesia dan Malaysia juga berbeda. Selain itu, Indonesia disebutnya lebih miskin, karenanya Gojek bisa sukses.
"Gojek berhasil di Indonesia karena angka kemiskinan mereka sangat tinggi, tidak seperti di Malaysia," ujar Shamsubahrin.
Apakah benar karena kemiskinan sehingga Gojek bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia.? Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Gojek bisa berkembang dikarenakan kebutuhan masyarakat akan pelayanan.
Gojek bukan semata-mata pelayanan transportasi, tapi juga pelayanan online yang menyangkut berbagai kebutuhan masyarakat, yang membutuhkan kepraktisan pelayanan secara online.
Itu yang tidak dipikirkan oleh Shamsubahrin, dia hanya melihat ancaman persaingan dalam transportasi semata. Atas dasar itu pulalah dia membangun opini bahwa kehadiran Gojek bisa merusak kultur masyarakat.
Dia menganggap berboncengan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada di Malaysia, dan di Indonesia itu dianggap biasa.
"Juga budaya mereka berbeda. Di Indonesia, perempuan bisa memeluk pengemudi, tetapi bagaimana di Malaysia? Apakah kita ingin perempuan-perempuan kita memeluk ojek?" imbuh dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H