Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Nomor Urut Kok Dianggap Kode Buntut

24 September 2018   06:07 Diperbarui: 24 September 2018   06:32 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Foto : Senayanpost

Dulu judi Togel itu dikenal dengan istilah "Buntut," jadi kalau pasang nomor taruhan togel, dibilang "Pasang Buntut."

Bayangin aja nomor apa aja yang ada dimimpi, angka apa aja dimistikin untuk dijadikan nomor yang akan dipasang. Kewarasan hilang hanya karena imajinasi untuk menang, bahkan keyakinan pada Tuhan pun kalah dengan keyakinan pada nomor yang Akan dipasang.

Penyakit itu sama dengan penyakit yang sedang kita hadapi menjelang Pilpres 2019. Nomor urut pasangan Capres pun dicak seperti ngecak nomor Buntut. Nomor urut itu dikaitkan dengan berbagai hal yang bersifat mistis. Nomor urut pun dianggap bisa mendatangkan keberuntungan.

Inilah penyakit Lima tahunan yang dihadapi masyarakat Kita. Lima Tahun sekali hilang kesadaran berketuhanan, hilang keyakinan terhadap yang Maha Kuasa, hanya karena mabuk Kekuasaan. Yang jadi Capres dan Cawapres tidaklah sibuk mengecak keberuntungan, justeru yang sibuk orang-orang yang mengincar kedudukan dan jabatan.

Setiap Lima Tahun republik ini gaduh karena pilihan, beda pilihan bisa jadi ribut dan pertengkaran. Sosial media dijadikan lapak untuk memuntahkan cacian ketidakbenaran. Pertemanan rusak karena beda pilihan. Persoalan nomor urutpun bisa jadi keributan.

Politik akal Sehat penuh kewarasan, sudah hilang dari sikap berpolitik para politisi Negeri ini. Mereka berpolitik hanya untuk mencari kursi dan kepentingan sendiri. Hati nurani hilang, hanya karena dikuasai ambisi. Pemilu dianggap pertempuran dengan seteru, sehingga jiwa mati dan kehilangan harga diri.

Lihatlah prilaku sebahagian para politisi, mereka sibuk, tapi hanya sibuk mengurus kepentingan pribadi. Sementara rakyat yang mengongkosi mereka, hanya bisa melihat prilaku tersebut sambil mengurut dada, dan menyeka keringat dan airmata.

Berkompetisi dianggap seperti berjudi. Siap untuk menang, tapi tidak bisa menerima kekalahan.

Kalau sudah begitu, Kontestasi Politik hanya melahirkan kegaduhan, bukanlah memilih pemimpin yang memang dibutuhkan sesuai dengan keinginan. Kontestasi dianggap perang antar golongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun