Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tidak ada "Makan Siang" yang Gratis

17 Juni 2012   07:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:53 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak ada Makan Siang yang Gratis," kata ini terdengar biasa saja kalau tidak dicerna dengan lebih mendalam. Tapi kata ini sangat bermakna Transaksional dalam aplikasinya, karena acara makan siang banyak digunakan untuk lobi-lobi dan transaksi bisnis, sehingga muncullah ungkapan ini.

Seorang teman karib saya yang secara tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatan Kepala Dinas, hal ini dia lakukan sebagai pilihan ketika dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi transaksi politik yang akan dihadapinya menjelang 2014, sebagai kepala dinas yang juga pemegang kebijakan berbagai proyek yang akan digelontorkan di Dinas yang dia pimpin, dia banyak menerima pesanan dan titipan.

Pesanan dan titipan tersebut adalah bentuk bayaran makan siang yang tidak gratis yang pernah dia ikuti. Dari acara makan siang itulah lobi-lobi pencalonannya sebagai Kepala Dinas dilangsungkan, lobi yang dilakukannya dengan kaki tangan salah satu partai politik ternyata sangat ampuh, sehingga dia bisa menjadi kepala dinas.

Tidak pernah dibayangkannya kalau makan siang yang dilakukannya dengan kaki tangan partai politik itu tidak gratis, dan tidak dibayangkannya juga kalau setelah menjadi kepala dinas dia akan menerima pesanan dan titipan partai politik, sehingga dia harus mau diajak kerjasama dalam menggarap proyek yang sudah digelontorkan, dengan pengertian harus ingat dengan partai yang sudah menempatkannya menjadi kepala dinas.

Dia baru tersadar kalau memang "Tidak ada Makan Siang yang Gratis," dan sekaranglah saatnya dia harus membayarnya. Untuk menghindari hal-hal yang bersifat transaksional ini akhirnya dia mengambil sikap mengundurkan diri dari jabatannya, dengan alasan gangguan kesehatan. Alasan sesungguhnya adalah dia tidak sanggup mengikuti permainan dilingkaran kekuasaan tersebut, dan tidak ingin jadi korban partai politik.

Pengunduran dirinya ini tak urung menjadi tanda tanya Gubernur dan Sekwilda, namun dia tetap memberikan alasan mengunudrkan diri karena gangguan kesehatan. Inilah sikap dan pilihan yang patut diapresiasi dari seorang pejabat daerah, tidak silau dengan jabatan, dan lebih mewaspadai akibat yang akan ditanggungnya jika dia tetap bertahan, dan menerima transaksi dengan partai politik yang mengusungnya.

Semoga saja masih banyak pejabat daerah yang mau memilih sikap menolak untuk bertransaksi dengan partai politik, hanya demi kepentingan partai politik dan mengorbankan kepentingan daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun