Oleh : Aji Mulyadin
Mungkinkah ini sebuah cerita dongeng yang tak pernah putus. Atau bahkan cerita bersambung yang tak pernah kunjung selesai. Issue politik dan hukum kembali merajai tayangan yang menarik di setiap media massa elektronik maupun media cetak. Tentang wakil rakyat yang korup, tentang oknum lembaga hukum yang laris menjual perkara, tentang oknum penegak hukum yang mendistorsi kasus, dan tentang penguasa yang sibuk menyelematkan dan berbenah diri untuk menjadi bersih dan meningkatkan citra positif di depan publik, dan masih banyak yang lainnya. Tapi ironisnya persoalan pendidikan di Indonesia yang kian komplek menjadi sesuatu yang terlupakan
Saya merasa bahwa ketika kita bicara pendidikan, tentunya kita harus melihat sebuah proses, bukan hanya hasil. Sebagian orang melihat pendidikan itu dari kulitnya saja. Apakah pendidikan ini berkualitas atau tidak? Bagaimana orang tua melihat anaknya bisa atau tidak, menjadi pintar, atau tidak, lulus atau tidak lulus dan seterusnya dan seterusnya. Ini memang penting dipersoalkan, Karena ini juga termasuk bagian dari hasil sebuah proses pendidikan. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa pendidikan itu bersifat sistemik. Mengapa?.
Lihat saja kurikulum yang selalu berganti-ganti (bongkar pasang), guru-guru dibuatnya kebingungan, yang satu belum tercapai muncul lagi yang baru. Mungkin ini indikasi bahwa pendidikan hanya sebuah komoditi, atau bahkan hanya sebuah proyek demi menyerap anggaran pendidikan yang berlimpah, atau jangan-jangan sebagai ajang percobaan dan penelitian tanpa mengindahkan kepentingan yang subtansial.
Mari kita tengok di beberapa daerah, otonomi pendidikan yang diserahkan ke daerah malah semakin semrawut. Rekrutmen tenaga pendidik dan pengajar kurang tepat. Data base yang dijadikan dasar pun malah lebih menjadi penyebab kurang idealnya dalam pengangkatan dan penempatan guru. Ada yang lulus SMA, honorer di SMA diangkat menjadi guru SMA, ada juga yang sangat geli-geli sedih gitu, lulusan PGTK ditugaskan di SMP, ya apalagi banyak sekali lulusan SMA/aliyah diangkat menjadi guru di SD/MI.
Ya fenomena di atas mungkin termasuk dalam Sunattullah. Karena mereka telah mengabdikan diri, dan itulah imbalannya. Ya patut diapresiasi. Hanya saja sangat disayangkan, jadinya ruhnya pendidikan tipis untuk dapat dicapai. Dan yang lebih menghawatirkan mereka mengambil percepatan kuliah pada beberapa perguruan tinggi dengan singkat mendapat legalitas ijazah. Wallahu alam tentang keilmuannya. Mudah-mudahan cara apapun ruhnya pendidikan dapat tersampaikan dan menjadi sesuatu yang penting untuk sebuah proses pembelajaran dan pendidikan kita.
Terakhir kegelisahan yang selalu menggelayuti perasaan cucunya UMAR BAKRFI adalah jika POLITIK masuk ke ranah pendidikan. Hemmm....sekarang sudah fulgar memang. Bismillah....Insya Allah masih ada titik terang diujung penantian yang tanpa batas. Wassalam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H