Mohon tunggu...
Aji Mulyadin
Aji Mulyadin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Orangnya enjoy, sedikit nyeleneh, suka nyentil sana sini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meraih Kemerdekaan dalam Puasa

7 Agustus 2012   19:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Aji Mulyadin

Seperti pada tahun sebelumnya, di nulan ini ada dua momen yang menjadi catatan penting untuk dijadikan bahan kajian dan bahan renungan bagi kita semua. Di lihat dari kaca mata sejarah kebangsaan, Indonesia genap berumur 67 tahun, tepatnya tanggal 17 Agustus 2012, sedangkan berbarengan dengan itu bahwa di bulan Agustus ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, dimana umat muslim melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Esensi kemerdekaan itu adalah bebas (tidak terbelenggu). Bebas untuk menjadi sebuah bangsa, bebas menjadi individu yang mandiri, bebas dalam berkarya, bebas dalam berfikir, bebas dalam berbicara, bebas dalam menentukan pilihan dan bebas untuk hidup tanpa tekanan dan intimidasi. Sementara esensi puasa adalah menahan diri untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu syaitoniah untuk kemudian kembali kepada fitrah (kesucian) seperti bayi yang baru lahir, nyaris tanpa dosa. Wallahualam bisawaf. Tidak ada yang tidak mungkin di mata Tuhan.

Puasa berarti menahan diri hawa nafsu syaitoniah. Sederhananya secara kontekstual bahwa puasa adalah menahan lapar dan haus dan yang membatalkannya dari mulai fajar  sampai terbenam matahari setiap harinya selama satu bulan penuh. Bayangkan hanya satu bulan dalam dua belas bulan dari waktu yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Cukup singkat memang. Akan tetapi diharapkan ketika kita berlatih di bulan ramadhan hasilnya dapat mewarnai sebelas bulan kedepan. Sehingga kalau kita kaji, esensi dari keduanya adalah terbebas dari belenggu. Permasalahannya sekarang adalah apakah kita sudah mendapat keutuhan dari arti sebuah kemerdekaan, atau apakah kita sudah meraih makna puasa yang seutuhnya.  Sehingga kita dapat merasakan kemenangan dalam keadaan fitrah. Atau malah sebaliknya kita kalah dan tetap dalam keadaan terbelenggu dan terjajah, dan akan merasakan kehidupan yang dibayang-bayangi oleh kegalauan dan ketakutan selamanya.

Dalam puasa, hati, pikiran, lidah, ucapan dan kata-kata harus merdeka (jujur). Prilaku (tindakan) harus merdeka, tanpa dibuat-buat. Jika tidak, maka nilai dari puasa itu tidak dapat kita raih (sia-sia). Artinya kita masih dalam keadaan terebelenggu, terjajah, dan belum merdeka.

Sekarang saatnya ibadah puasa dijadikan arena untuk mengaktualisasikan diri dan nurani kita. Diri, jiwa dan raga yang terbebas dari kungkungan. Raga dan fisik kita yang bebas bergerak tanpa batas. Nurani yang tanpa tekanan dan intimidasi, hati yang tanpa ketakutan dan rasa was-was. Alhasil ramadhan adalah suatu kondisi yang sangat kondusif bagi siapapun untuk meraih kemerdekaan hati dan nurani, kemerdekaan jiwa dan raga, kemerdekaan untuk berfikir dan bertindak dengan jujur tanpa kebohongan.

Dua momen yang sangat monumental inilah seyogyanya dijadikan bahan renungan oleh bangsa ini. HUT RI Ke-67, mengingatkan kita bahwa kita sudah merdeka selama setengah abad lebih. Sudah sejauhmana kita sudah mengisi kemerdekaan ini. Atau sudah sebesar apa yang kita dapatkan dari suasana kemerdekaan itu. Atau sudah sejauhmana para pemegang kekuasaan negeri ini memberikan tauladan kepada rakyatnya untuk mensyukuri kemerdekaan itu. Atau sudah separah apa para pemegang kewenangan bangsa ini telah berbuat dzolim terhadap bangsa dan rakyatnya. Atau masih adakah hak-hak rakyat yang dirampas seperti pada saat penjajahan dulu, sehingga tempat tinggal dan harta bendanya ditelan bumi (rata dengan lumpur). Atau masih adakah pembelengguan terhadap hak bicara rakyat seperti zaman penjajah dulu. Atau masih adakah demi kekuasaan rakyat diadu domba (de vide et imvera) seperti pada penjajahan kolonial Belanda dulu. Atau  malah mereka berebut kursi mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan partai dan kelompoknya. Dan atau mereka pura-pura berjuang mengungkap aib orang (koruptor) untuk melahirkan koruptor-koruptor lain yang lebih ganas dan licin, dan pura-pura saja untuk sebuah kepentingan kelompok dan kedudukannya. Jika fenomena ini yang malah muncul di alam kemerdekaan bangsa ini maka sesungguhnya mereka itulah yang kalah dan tidak akan mendapatkan apa-apa di yaumil akhir nanti. Na’udzubillah…

Tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna, masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Jadikanlah momen puasa dan perayaan HUT RI Ke 67 ini untuk kembali menata hidup dan kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mari kita raih kemerdekaan itu dalam puasa di bulan ramadhan ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa membuka pintu ampunan bagi kita semua. Amiin. (jie.com)



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun