Sikap Husnudzon,
Kepada Sang Pemimpin
Oleh : Aji Mulyadin
Kecenderungan sifat lupa pada seorang Pemimpin memang sangat mungkin terjadi. Ia lupa bahwa seorang Pemimpin adalah pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakatnya. Ia lupa bahwa lahirnya seorang Pemimpin karena pilihan masyarakat. Ia lupa bahwa jabatan yang disandangnya adalah kepercayaan masyarakat. Ia lupa pada saat mengobral omongan waktu kampanye berjanji berpihak pada masyarakatnya. Ia lupa bahwa jabatannya tidak akan abadi. Dan Ia lupa bahwa sesungguhnya nuraninya telah ditindas oleh kepentingan yang berlebihan, nafsu yang tak terkendalian, dan dunia yang tak pernah memberinya kepuasan.
Mungkin Ia lupa sifat tamaknya telah mampu mengalahkan nuraninya sendiri. Yang harampun di naas menjadi halal. Penyuapan pun dikonotasikan dengan infaq, dan jabatan publik pun dibuat dagangan seperti di pasar. Masyarakat dipaksa untuk mengatakan yang sesungguhnya haram menjadi halal, yang tidak biasa, dipaksa untuk menjadi biasa. Sesuatu yang salah dipaksakan untuk menjadi benar. Dan yang paling menyakitkan adalah orang yang benar malah menjadi salah. Suara terbanyak kendati salah, menjadi tuhan, dan yang minoritas sekalipun benar, salah adanya dan termarginalkan (terpinggirkan)
Ironi memang, di alam demokrasi katanya, tapi malah terkesan ada sebuah penindasan nurani, banyak rekayasa, intimidasi kepada yang lemah, yang berbeda pendapat dicap penentang, dimusuhi, dan tak pernah diberikan akses untuk apapun. Padahal katanya mereka ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk masyarakatnya. Tapi yang terjadi adalah mereka banyak berbuat dzolim kepada masyarakatnya, masyarakat yang telah menjadikan Ia ada, masyarakat yang telah membesarkannya, dan masyarakat yang telah memberi makan dan kehidupan bagi keluarganya.
Terkadang ada rasa iba, prihatin, dan menyayangkan atas ulah Pemimpin itu. Dia merasa bahwa jabatan itu terkesan sesuatu yang mutlak, tirani, dan otoriter. Dia teramat tamak dengan jabatannya. Dia teramat aji mumpung dengan keadaannya sekarang. Seolah-olah kesempatan emas hanya ada hari ini, tanpa mengindahkan hari esok akan lebih baik jika hari ini menebar kebaikan. Dia terlalu sibuk ingin merasakan dan menikmati yang belum pernah dinikmati dan dirasakan sebelum menjadi Pemimpin. Akhirnya yang muncul prilaku glamor, berlebihan (israf), dan tidak ada empati atas penderitaan masyarakat.
Yang sangat memprihatinkan adalah ketika Pemimpin lupa bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi komoditi politik, dan dijadikan media untuk menumbuhkembangkan kepentingan politik, dijadikan ajang untuk melebarkan sayap dan memperkokoh kekuasaan. Ketika pendidikan sudah dijamah oleh tangan-tangan yang hanya memiliki kepentingan kekuasaan, maka akan bias tujuan pendidikan itu sendiri.
Yang sangat parah adalah dari cara menggarap pendidikan ternyata bukan pada tataran proses dan kualitas, akan tetapi lebih kepada penyusupan person tanpa melihat kompetensi dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Lihat saja dari mekanisme rekrutmen tenaga pendidik, cenderung tidak didasari oleh tujuan yang mengarah kepada kualitas, tetapi asal jadi saja. Sementara keilmuan dan kompetensinya tidak terlalu dipersoalkan. Kalau sudah begini bagaimana nasib pendidikan kedepan. Miris memang kalau nuansanya adalah kepentingan politik.
Lalu bagaimana sikap kita sekarang, apa yang harus kita lakukan. Nyaris tidak ada yang harus kita lakukan. Seperti apa sikap kita yang jelas-jelas menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin solusi yang paling murah dan teramat rendah dan merupakan kategori paling lemah iman kita, adalah mengusap dada dan bersikap husnudzon (berprasangka baik saja), mungkin Pemimpin dalam keadaan lupa. Dan pasti sifat lupa ini akan kembali hilang ketika label Pemimpinnya dicabut Sang Khaliq, dan kembali seperti masyarakat biasa. Mudah-mudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H