Suatu ketika seorang dosen bertanya kepada para mahasiswanya, “Apa sih program kesehatan yang berhasil? Ada gak?”. Setelah kelas sempat hening sejenak, sang dosen langsung menjawab, “Gak ada kan?!”. Kami yang sebagian para pegawai Kemkes yang kebetulan sedang menjalani tugas belajar sedikit terhenyak sekaligus tertohok dengan pernyataan si dosen. Pada pertemuan sebelumnya juga sang dosen dengan agak sinis mengatakan bahwa salah satu unit di Kemkes sebaiknya dibubarkan, unit lainnya di-merger saja, dengan alasan tidak ‘berprestasi’. Beliau memang selain seorang akademisi juga kadang berperan sebagai aktivis sebuah LSM kesehatan, maka tak heran jika gaya dan sikapnya demikian kritis, kadang tendensius dan sering melemparkan paradoks. Sayapun sebenarnya cukup tersinggung dan ingin berbagi pendapat, tetapi karena tak memiliki data dan evidence yang cukup kuat, akhirnya saya urungkan hingga akhirnya saya tuangkan dalam tulisan ini.
Situasi diatas memang sering kita jumpai dan rasakan saat saya atau sebagian dari kita sebagai seorang aparatur negara sedang berada diluar Kementerian, terutama saat berada di tengah-tengah masyarakat umum. Banyak yang mengkritisi bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan tidak berbuat banyak bagi rakyat Indonesia. Benarkah demikian? Apakah statement sang dosen dan sebagian tukang kritik bisa kita percayai mampu benar-benar menunjukkan keadaan yang sesungguhnya terjadi? Sudah fair-kah kita menilai semuanya? Menurut saya pribadi kadang ada benarnya namun banyak juga salahnya. Setidaknya ada dua hal yang dapat dijadikan parameter dalam menilai kinerja atau keberhasilan implementasi sebuah kebijakan, program atau kegiatan di bidang kesehatan.
Pertama, sudut pandang atau posisi. Yang dimaksud disini adalah sebagai apa kita melihat dan menilai sesuatu. Bila dikaitkan dengan capaian kinerja bidang kesehatan, apakah kita berlaku sebagai orang pemerintah, anggota dewan, akademisi, LSM, wartawan atau masyarakat? Sebagai bagian dari lembaga pemerintahan, saya tentu bisa mengklaim bahwa telah banyak yang merasakan program-program yang digulirkan pemerintah. Ambil contoh beberapa program semisal imunisasi, obat generik, dan Jamkesmas. Tanpa menggunakan data, saya sangat yakin sudah banyak sekali bayi dan balita yang sudah terlindungi dari penyakit infeksi karena telah menerima vaksinasi dasar lengkap. Begitu juga dengan obat generik dan Jamkesmas yang sudah cukup tersohor. Mungkin sudah ribuan bahkan jutaan penduduk yang sangat terbantu dengan kedua program tersebut, khususnya golongan masyarakat miskin dan tidak mampu.
Pandangan tersebut pasti sangat jauh berbeda bila kita meminta opini dari anggota dewan yang terhormat apalagi dari lembaga swadaya masyarakat yang tentu memiliki kepentingan sendiri. Mereka pasti akan selalu bertolak belakang dengan optimisme pemerintah akan klaim keberhasilan program kesehatan. Ciri khas mereka, termasuk dari kalangan media, adalah mengangkat kejadian-kejadian yang sifatnya kasuistik untuk mengeneralisir buruknya kinerja keseluruhan sebuah lembaga, termasuk Kemkes. Saya tidak antipati dengan kelompok ini, tentu masih ada dari kalangan mereka yang juga mendukung pemerintah. Dan tentu juga itu merupakan bagian dari tugas mereka sebagai penyeimbang. Akan tetapi coba kita pikirkan bersama, adilkah menggunakan cara seperti itu? Padahal saya yakin dan percaya, tak pernah sedikitpun terbersit niat dari para aparatur dan tenaga kesehatan untuk menciderai kepercayaan yang diberikan kepada pemerintah selama ini dengan cara melakukan tindakan yang merugikan masyarakat luas. Berikutnya mari sesekali kita meminta testimoni dari sebagian warga masyarakat, apakah sudah cukup terbantu dengan program-program pemerintah bidang kesehatan. Jawabannya mungkin bisa beragam, namun setidaknya sedikit banyak ada yang pernah merasakan manfaatnya.
Kedua, indikator target. Nah ini barangkali yang terpenting. Target bisa dikelompokkan setidaknya dalam 2 kategori berdasarkan waktu atau lingkupnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pemerintah memiliki dokumen perencanaan pembangunan seperti rencana jangka pendek atau yang sering kita dengar dengan RKP; jangka menengah, dalam bentuk RPJMN atau Renstra; dan jangka panjang (RPJP). Ketiganya tentu memiliki target yang berbeda dan cara yang berbeda pula untuk mencapainya, meskipun tetap harus saling mendukung, melengkapi dan berkesinambungan. Disamping itu juga kita memiliki target-target mulai dari level atau lingkup kementerian, daerah, nasional hingga global. Target-target ini juga seharusnya saling terintegrasi dan harmonis sehingga dapat menunjang kinerja yang sifatnya lebih makro. Demikian pula jika dilihat dari tataran output, outcome atau dampak/impact. Jadi yang ingin saya tekankan disini adalah indikator target mana yang ingin kita jadikan acuan sebagai penilaian, menurut waktunya, lingkupnya atau keduanya. Ok lah kalau misalnya yang dijadikan patokan adalah MDGs 2015, harus diakui bidang kesehatan bisa dibilang gagal. Menurut beberapa sumber, mungkin hanya program gizi dan pengendalian penyakit menular (TB) yang berhasil diraih, selebihnya, terutama untuk tujuan menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), boleh dikatakan jauh panggang dari api. Kalo meminjam istilah pejabat sih, ‘sudah ada kemajuan namun perlu kerja keras agar goal bisa tercapai’. Tapi coba kita tengok sebentar capaian-capaian jangka pendek dan menengah di kementerian dan daerah serta kita batasi pada tataran output saja, tak sedikit yang telah tercapai bahkan melebih target yang semula direncanakan. Iya sih, tapi apa cukup puas dan bangga dengan raihan pada skala kecil, bukannya lebih mentereng kalau menggunakan skala yang lebih besar/luas?.
Kegagalan ataupun kekurangan yang terjadi selama ini rasanya kerap kali terjadi karena urusan kesehatan itu sangat kompleks dan tidak bisa bekerja sendirian, bergantung pada program dan sektor lainnya. Kadang kala terbentur dengan sistem, terkendala dengan sumber daya, dsb. Bukan berarti mencari pembenaran dan membela diri tetapi memang demikian adanya. Point-nya adalah kita harus cermat dalam menilai, minimal dengan dua parameter yang saya ulas diatas. Memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, masih banyak inovasi-inovasi yang harus dilahirkan. Intinya memang kita harus bekerja dan bekerja lebih baik lagi. Walaupun begitu, apresiasi rasanya perlu diberikan kepada para pimpinan dan jajaran kesehatan, baik yang bekerja di pusat kota maupun di pelosok daerah terpencil, yang telah bekerja keras dan ikhlas dalam membangun bidang kesehatan di Indonesia dalam kurun waktu lima dekade ini. Semata-mata demi mewujudkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang semaksimal mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H