Mohon tunggu...
Aji Muhawarman
Aji Muhawarman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Sehat.sehat.sehat...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

JKN Lecehkan SDM Kesehatan

31 Oktober 2014   08:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kontroversial. Begitulah mungkin salah satu keyword yang dapat mewakili setiap kebijakan publik yang dilahirkan oleh pemerintah. Apapun keputusan pemerintah untuk mengatur urusan tertentu selalu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Tak terkecuali kebijakan di bidang kesehatan.

Kita tentu semua tahu bahwa era pemerintahan Presiden SBY telah meninggalkan legacy bagi dunia kesehatan dengan diluncurkannya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 31 Desember 2013 yang lalu dan kemudian resmi terselenggara sejak 1 Januari 2014. Program tersebut seyogyanya adalah program nasional yang sungguh sangat mulia karena bertujuan melindungi seluruh rakyat Indonesia dari risiko kesehatan yang bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja.

Dalam sejarahnya, asuransi atau jaminan kesehatan memang sudah cukup lama hadir di negara kita, tepatnya sejak tahun 1968 ketika PT. Askes pertama kali berdiri. Akan tetapi gaungnya mungkin baru mulai dirasakan ketika pemerintahan Presiden Megawati di akhir masa pemerintahannya berhasil menggolkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dari sinilah kemudian harapan akan adanya sebuah skema asuransi sosial semakin menguat. Walaupun setelahnya agak tertatih-tatih, tapi selanjutnya pemerintah bersama DPR pada tahun 2011 berhasil menerbitkan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hingga puncaknya pada 1 Januari 2014 yang lalu, BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT. Askes (persero) resmi beroperasi.

Berbicara mengenai JKN dan BPJS tentu akan luas sekali aspek bahasannya, mulai dari pelayanan, pembiayaan, kepesertaan, logistik, hingga SDM. Kali ini saya akan coba mendalaminya dari sisi pemberi layanan kesehatan, khususnya tenaga kesehatan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan SDM kesehatan (Human Resource for Health/Health Workforce) sebagai “all people who are working in health and non-health sectors based either in institutions or in the community, both paid and unpaid, but working with the primary intent of improving the health of individuals, families or communities”. WHO membagi kategori SDMK menjadi dua kelompok yakni: 1) penyedia jasa kesehatan seperti: dokter, dokter gigi, perawat, bidan, community health workers dan lainnya, 2) pekerja yang mengurusi manajemen, misalnya: manajer di rumah sakit, tenaga rekam medis, teknisi kesehatan, tenaga bagian informasi kesehatan, dsb (www.who.int). Sementara itu, UU Kesehatan juga menjelaskan tenaga kesehatan adalah “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Jadi dari dua definisi diatas bisa ditegaskan bahwa yang disebut SDM kesehatan adalah semua orang yang mengabdikan diri di bidang kesehatan (tenaga kesehatan dan non kesehatan) untuk meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Kenapa saya tekankan begitu, karena banyak orang salah kaprah soal ini. Selama ini kan menurut persepsi publik yang dikatakan orang kesehatan hanyalah dokter, dokter gigi, perawat dan bidan, mungkin ditambah apoteker. Padahal sesungguhnya tidak hanya mereka, sangat banyak profesi kesehatan lainnya. Lantas apa yang menyebabkan ini dan apa kaitannya dengan JKN?

Situasi tersebut sudah pasti bukan salahnya masyarakat. Kurang tenarnya tenaga kesehatan diluar tenaga medis dan tenaga keperawatan bisa jadi karena minimnya perhatian dari pemerintah akan profesi tenaga kesehatan lainnya, apalagi tenaga non kesehatan. Bisa juga karena ketidakmampuan pemerintah untuk mengoptimalkan kemampuan mereka. Tapi bisa pula dikarenakan tenaga di luar tenaga medis dan keperawatan yang tidak mampu menonjolkan eksistensi dan peran pentingnya. Atau mungkin ini karena kegagalan institusi pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat yang profesional di bidangnya. Jadi tidak heran profesi seperti public health workers tidak sekondang tenaga kesehatan lainnya, nyaris tak terdengar dan terlihat. Orang sering lupa bahwa mereka mungkin pernah atau sering berhubungan dengan para kader, jumantik, penyuluh kesehatan, nutrisionist, sanitarian, dan lain sebagainya di Posyandu, Puskesmas atau di lingkungan wilayah mereka. Padahal boleh dibilang profesi tersebut tidak kalah pentingnya ketimbang dokter atau perawat. Mereka punya andil besar dalam memelihara kesehatan masyarakat disekitarnya, mencegah tertular penyakit, dan mengajarkan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga bisa terus sehat dan produktif.

Lalu apa hubungannya dengan JKN yang kini lagi nge-hit? Guna mendukung pelaksanaan JKN, Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan beberapa beleit derivat dari UU SJSN, UU BPJS atau Perpres Jaminan Kesehatan. Dua diantaranya adalah Permenkes 69/2013 yang mengatur tentang tarif layanan kesehatan dalam JKN, dan Permenkes 19/2014 perihal penggunaan dana kapitasi JKN. Keduanya sangat erat korelasinya dengan SDM kesehatan, khususnya dalam hal reward. Saya tidak akan membahas terlalu detil tentang ketiga peraturan tersebut, tapi akan coba meng-highlight beberapa poin yang menurut saya menarik untuk dikaji lebih dalam karena ketika sekilas membacanya cukup membuat dahi berkernyit terheran-heran dan membuat lidah ini gatal untuk tidak berkomentar.

Dalam Permenkes tentang tarif layanan, ditetapkan ada tiga jenis tarif yakni: tarif kapitasi, tarif non kapitasi dan tarif INA-CBGs. Berapa sih besarannya? Ternyata kurang lebih sama dengan tarif parkir 1 jam di mall. Tarif kapitasi untuk Puseksmas atau fasilitas kesehatan setara sebesar Rp.3.000-Rp.6.000! Sedangkan tarif kapitasi untuk RS pratama, klinik pratama atau praktik dokter dipatok Rp.8.000-Rp.10.000 atau setara dengan ongkos cukur rambut di pinggir jalan. Yang lebih miris lagi adalah tarif untuk praktik dokter gigi di luar fasilitas kesehatan yang disebutkan tadi (Puskesmas, klinik) hanya Rp.2.000. Ya, believe it or not, cuma dua ribu perak! Tarif yang sama dengan saat kita (maaf) buang hajat di toilet umum. Terlepas dari argumentasi bahwa besaran tarif merupakan hasil kalkulasi atau formulasi dari para pakar ekonomi kesehatan, tentu besaran tarif tersebut nampak sangat tidak manusiawi, malah kalau boleh dibilang: sangat melecehkan! Bayangkan seorang dokter gigi yang sudah menempuh pendidikan sedemikian lama, dengan biaya sekolah yang tidak murah, tapi hanya dihargai sedemikian kecil oleh pemerintah. Kalau seorang dokter/dokter gigi saja segitu, apalagi tenaga non medis. Paiiit!...

Memang benar besaran nilai kapitasi yang diterima oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih akan dikalikan dengan peserta yang terdaftar pada puskesmas atau klinik tertentu, tapi seberapa besar sih. Saya coba berikan ilustrasi sedikit. Satu puskesmas di sebuah kecamatan/kelurahan di Jabodetabek dengan jumlah peserta misalnya 50.000 maka setiap bulan akan menerima dana kapitasi sebesar maksimal Rp.300.000.000, cukup lumayan sih. Itupun tidak semuanya untuk jasa pelayanan, karena dalam Permenkes tentang penggunaan dana kapitasi sudah dibatasi sekurangnya 60%. Sedangkan sisanya (±40%) diperuntukkan bagi belanja operasional pelayanan puskesmas (obat dan alat kesehatan) dan belanja di luar pelayanan langsung misalnya untuk melakukan kegiatan promosi kesehatan. Itu di kota besar. Bagaimana dengan jumlah dana kapitasi yang diterima oleh FKTP di daerah terpencil atau tertinggal seperti contohnya di wilayah timur Indonesia. Sebuah puskesmas di Kabupaten Waropen misalnya hanya memiliki penduduk binaan sebanyak 2.200-an orang. Artinya setiap bulan hanya akan menerima dana kapitasi sekitar 12 juta rupiah yang peruntukkannya buat belanja operasional dan jasa pelayanan yang dibagi untuk sejumlah tenaga kesehatan dan non kesehatan yang bekerja di puskesmas tersebut. Dari angka 12 juta tersebut, kira-kira berapa yang didapat seorang dokter yang bekerja disana?? Belum lagi semua juga tahu bahwa biaya hidup di daerah ujung timur Indonesia itu mahal. Jadi pendapatan sedikit, pengeluaran banyak. Bila demikian, cukup layakkah tarif tersebut? Bagaimana mungkin kita menuntut tenaga kesehatan untuk bekerja profesional dan penuh keramahan, jika mereka tidak dihargai dengan sepantasnya. Tidak heran jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menuntut adanya insentif tambahan bagi tenaga medis dan keperawatan dalam era JKN.

Persoalan besaran tarif tidak berhenti disitu. Mari kita tengok aturan apa yang ada dalam Permenkes tentang penggunaan dana kapitasi. Ternyata selain mengatur tentang alokasi dana kapitasi bagi jasa pelayanan dan dukungan operasional, juga mengatur tentang perhitungan jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan dan non kesehatan. Pembagian jasa pelayanan tersebut mempertimbangkan dua variabel yaitu: jenis tenaga dan/atau jabatan dan kehadiran. Untuk hal ini saja sudah bisa kita persoalkan, apa cukup dengan dua variabel itu, mengapa tidak memasukkan variabel beban kerja misalnya. Berikutnya untuk jenis tenaga dan/atau jabatan tadi diberikan semacam pembobotan yang nilai range-nya cukup jauh antara yang terendah 15 poin bagi tenaga non kesehatan yang memiliki pendidikan dibawah D3 hingga yang tertinggi 150 poin bagi tenaga medis. Bahkan tenaga profesi lain seperti apoteker dan ners, hanya diberi nilai 100. Terjadi kesenjangan yang sangat jauh dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Sudah nilai satuannya sangat merendahkan martabat tenaga kesehatan (dua ribu perak), anggaran jasa layanan hanya dialokasikan sekitar 60%, lalu yang 60% ini juga masih dihitung-hitung lagi dengan pembobotan yang gap-nya begitu lebar, terus setiap pekerja di Puskesmas mau dapat berapa setiap bulannya?? Bagi dokter atau tenaga kesehatan yang berstatus PNS/CPNS masih terbantu dengan gaji dan tunjangan fungsional atau tunjangan lainnya, tapi bagi yang berstatus tenaga PTT atau honorer, hidup semakin berat bagi mereka.

Sebagai insan kesehatan, tentu kita sangat mendukung keberadaan asuransi kesehatan nasional (JKN) ini. Akan tetapi tentu juga pemerintah jangan hanya berpuas diri dengan hanya mengandalkan target jumlah kepesertaan setiap tahunnya dan tujuan universal coverage pada 2019. Tidak cukup juga hanya menargetkan pada tahun 2019, 85% peserta puas terhadap pelayanan dari fasilitas kesehatan. Tapi juga benar-benar bisa mewujudkan target setidaknya 80% fasilitas kesehatan (termasuk didalamnya SDM Kesehatan) puas terhadap pelayanan dari BPJS Kesehatan sebagaimana sudah tercatat dalam Roadmap JKN 2012-2019. Semua pihak yang berkepentingan dalam program JKN ini harus terpuaskan.

Sedikit masukan bagi pemerintahan baru. Sebelum meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang konon katanya bakalan menjadi JKN++ alangkah baiknya membenahi sistem kesehatan terlebih dulu; khususnya infrastruktur dan ketenagaan. Sulit dipercaya ketika hasil Rifaskes 2011 menunjukkan data jika di Jakarta masih ada Puskesmas yang tidak memiliki dokter, sedangkan di Papua sebanyak 32% Puskesmasnya tidak memiliki dokter. Dalam konteks SDM kesehatan, permasalahan tidak lagi dalam sisi jumlah dan jenis tenaga, akan tetapi lebih kepada isu kualitas dan maldistribusi. Percuma saja kita bisa dijamin berobat gratis tapi fasilitas kesehatan terlalu jauh dari pemukiman warga dan butuh biaya transportasi tidak sedikit untuk menjangkaunya. Mubazir mencetak kartu peserta KIS jika ternyata tidak ada tenaga kesehatan yang dibutuhkan, kalaupun ada tapi tidak memiliki kapasitas yang seharusnya. Disamping dua hal tadi, ada baiknya besaran tarif kapitasi dan mungkin juga INA-CBGs ditinjau ulang dalam waktu dekat dan tidak harus menunggu setiap dua tahun sebagaimana tertera pada Perpres Jaminan Kesehatan. Dengan demikian, diharapkan JKN tidak lagi menjadi produk inferior, tapi menjadi produk kebanggaan yang disukai oleh calon peserta dan diminati oleh calon fasilitas kesehatan yang ingin bekerjasama dengan BPJS.

Pada akhirnya sebuah kebijakan tidak cukup hanya bersifat pencitraan tapi pada kenyataannya sulit terlaksana, tidak dapat dirasakan secara adil dan merata (equity). Sulit bagi penyelenggara, pemberi layanan dan penerima manfaat. Namun bukan berarti ini jadi menyurutkan niat baik pemerintah. Sebagai aktor utama, Presiden dan jajarannya harus punya ketegasan dan keyakinan ditambah lagi dengan menggunakan prinsip ‘kerja.kerja.kerja’ agar tujuan implementasi kebijakan bagi kemaslahatan orang banyak dapat tercapai. Kita semua, sebagai warga negara, sesuai porsinya punya tanggung jawab masing-masing dalam mendukung suksesnya pembangunan. Semoga dengan adanya Presiden dan Menkes yang baru, pembangunan kesehatan tidak lagi berkutat pada persoalan klasik (fasilitas dan SDM) dan bisa segera move-on dengan menciptakan terobosan dan inovasi-inovasi baru, fokus pada UKM tanpa mengabaikan UKP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun