Malam tadi tepat pukul 00.00 waktu setempat, milyaran orang di seluruh dunia termasuk Indonesia, merayakan pergantian tahun dengan beragam cara dan di berbagai tempat. Tergantung niat, minat, kemampuan dan latar belakang sosial lainnya. Ada yang merayakan di tempat-tempat keramaian, alun-alun kota, mall, pantai, gunung atau hanya di rumah saja. Ada juga yang merayakannya dengan nongkrong-nongkrong sambil menyalakan kembang api dan petasan, membunyikan terompet yang memekakkan telinga, sekedar makan-minum bersama kerabat atau sahabat hingga mungkin pesta narkoba atau miras, naudzubillah min dzalik!
Pertanyaannya apa sih yang ingin dirayakan? pantaskah kita merayakan tahun baru dengan cara-cara tadi? Apa yang bisa kita dapatkan dengan aktivitas seperti itu? Menurut pandangan saya pribadi, sah-sah saja untuk merayakannya sepanjang dilakukan dengan wajar tidak berlebihan, dan tentu harus ada manfaat yang bisa kita peroleh. Sayangnya apa yang sudah dilakukan dan saya saksikan selama ini hanyalah acara yang cuma membuang waktu dan uang, isinya kesia-siaan semata. Sebuah restoran di Amerika menawarkan paket makan malam seharga Rp.260 juta hanya untuk merayakan tahun baru yang hanya sesaat. Sementara itu perayaan tahun baru di Shanghai China menelan korban 35 orang tewas. Sia-sia bukan?
Tapi apa iya tidak ada cara dan tempat lain yang pantas dan baik untuk ‘merayakannya’? Itu yang saya coba pikirkan dan lakukan dalam 2 tahun terakhir ini. Pikiran saya sederhana saja, bagaimana melewatkan waktu malam tahun baru yang tidak membuang biaya, tidak mubazir dan bermanfaat untuk melakukan evaluasi diri. Setahun yang lalu saya mengikuti acara dzikir nasional yang digagas oleh Harian Republika dan diselenggarakan di Mesjid At-Tin Taman Mini Jakarta. Teringat itu saya langsung cari informasi tentang kegiatan tersebut yang siapa tau ada lagi dan alhamdulillah ternyata tahun ini untuk yang ke-13 kalinya, acara dzikir nasional kembali diadakan di Mesjid At-Tin, tanpa pikir panjang saya hadir ke acara tersebut.
Merayakan pergantian tahun di mesjid memang bukan hal yang baru sama sekali, sudah dilakukan beberapa tahun belakangan dan sudah mulai banyak mesjid yang menyelenggarakannya. Buat saya sendiri yang baru merasakannya dua kali, ini merupakan pengalaman berbeda yang jauh dari kesan mubazir tapi justru sangat bermanfaat. Sebagai individu, anak, ayah dan suami tentu banyak sekali hal yang dikerjakan, tentu ada kesalahan dan kekurangan yang disengaja atau tidak sudah diperbuat. Ini juga berlaku untuk semua orang, sebagai apapun dia. Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Sudah sepantasnya banyak melakukan introspeksi diri terhadap semua yang telah dilakukan khususnya selama setahun belakangan. Meskipun semestinya refleksi diri bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, tapi rasanya ini momentum yang tepat.
Ditengah hiruk pikuk orang merayakan tahun baru di lokasi hiburan dan cara-cara yang tidak tepat, mesjid, mushola, pesantren atau tempat ibadah lainnya rasanya menjadi tempat yang seharusnya menjadi tujuan utama untuk melalui detik-detik waktu pergantian tahun, perpindahan dari masa lalu ke masa kini, dari masa kini ke masa yang akan datang. Di tempat-tempat itulah sambil mendengarkan tausiyah, berdzikir, berdoa, dan bermuhasabah. Kita sebagai umat beragama dapat merenungkan kembali keberadaan kita, apa yang telah dan akan kita lakukan. Sudahkah kita menyadari siapa dan untuk apa kita diciptakan ke dunia ini. Apa dan kemana tujuan akhir kita nantinya. Disini kita juga dapat membuat semacam resolusi spiritual. Yang simpel saja misalnya bagi yang sholatnya masih bolong-bolong, berjanji tahun ini harus bisa mendirikan sholat wajib 5 waktu. Atau bagi yang sudah rajin mendirikan sholat 5 waktu, berjanji untuk sholat di awal waktu dan berjamaah di mesjid, dst... Tak bermaksud riya’ dan menggurui namun proses perenungan, kontemplasi dan resolusi spiritual seperti ini rasanya akan sulit kita lakukan di tempat-tempat lain.
Belum lagi bila kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini di negeri kita. Ada bencana longsor di Banjarnegara yang menewaskan ratusan orang. Ada bencana banjir di Aceh, Bandung dan daerah lainnya. Yang terakhir, ada kecelakaan pesawat Air Asia yang kemungkinan besar mengakibatkan seluruh awak dan penumpangnya meninggal dunia. Sebagai mahluk sosial, sudah seharusnya kita juga turut berduka cita dan berempati terhadap para korban dan keluarganya. Salah satu bentuk empatinya adalah dengan tidak merayakan malam tahun baru secara berlebihan, dengan hingar-bingar pesta atau cara-cara lain yang tidak mungkin mereka lakukan dalam situasi berduka seperti ini.
Bukan bermaksud menyalahkan karena tidak semua dan selamanya cara atau acara selain di tempat peribadatan akan selalu buruk, akan tetapi sepertinya kita sudah harus mulai memikirkan kembali bagaimana sebaiknya merayakan tahun baru untuk tahun-tahun selanjutnya. Cara-cara yang lebih bijak, tidak selalu meniru tradisi kebarat-baratan tapi sesuai dengan adat dan budaya ketimuran. Tentu pilihan dikembalikan kepada masing-masing keyakinan dengan pertimbangannya sendiri-sendiri.
Semoga tahun 2015 menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H