Mohon tunggu...
Aji Muhawarman
Aji Muhawarman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Sehat.sehat.sehat...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tenaga Kesehatan Andal: Bekal Utama Pembangunan Kesehatan

3 Januari 2015   05:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:55 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_344579" align="aligncenter" width="150" caption="dokterinternasionalindonesia.net"][/caption]

Dalam ilmu manajemen dikenal istilah model 5M yang terdiri dari Man, Money, Material, Machine dan Method. Kelima unsur ini merujuk pada sumber daya yang harus dikelola oleh sebuah organisasi dalam menjalankan kegiatannya. Dari kelima unsur tersebut, yang paling krusial dan sulit rasanya tak lain dan tak bukan adalah Man (orang) alias sumber daya manusia. Oleh karenanya dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk mengelolanya. SDM yang berkualitas tinggi dan memiliki daya saing tinggi akan menjadi modal utama dalam pembangunan negeri ini, tak terkecuali di sektor kesehatan.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan bukannya tidak menyadari akan hal ini. Setidaknya terbukti dengan dilahirkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes) yang mengatur secara khusus manajemen administrasi tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Sebelumnya pengaturan tentang tenaga kesehatan terkesan parsial dan seakan hanya memedulikan sebagian profesi kesehatan saja, seperti dokter/dokter gigi, dengan adanya UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan kemudian dilanjutkan dengan terbitnya UU 20/2013 yang secara spesifik mengatur tentang Pendidikan Kedokteran. Sementara profesi lain seperti Perawat dan Bidan merasa dianaktirikan yang memicu mereka untuk mengajukan UU Keperawatan yang hingga kini tidak berhasil juga terwujud walaupun sepertinya sudah diakomodir dalam UU Nakes tersebut.

UU Nakes sebenarnya adalah amanat dari UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 21 (3), dan khusus mengenai pengelolaan tenaga kesehatan berupa perencanaan, pengadaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan juga diamanatkan oleh UU Kesehatan harus diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Seburuk itukah manajemen SDM Kesehatan di negeri ini sampai harus dikeluarkan begitu banyak peraturan perundangan hingga selevel UU. Untuk mengetahuinya tentu harus didukung dengan data dan fakta.

Menurut data Kementerian Kesehatan hingga 2013 terdapat lebih dari 90 ribu tenaga medis (dokter dan dokter gigi) dan 425 ribu tenaga keperawatan (perawat, bidan) serta ribuan tenaga kesehatan dan non kesehatan lainnya yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Total seluruhnya ada lebih dari 877 ribu tenaga kesehatan yang ditempatkan di fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, klinik, dsb) guna melayani masyarakat yang membutuhkan jasa mereka, bahkan data terakhir jumlahnya terus meningkat menjadi sekitar 892 ribu tenaga kesehatan telah disebarluaskan di berbagai fasilitas kesehatan. Bagaimana dengan kebutuhannya? Masih dari sumber yang sama, secara umum untuk tenaga medis khususnya dokter umum dan spesialis masih sangat membutuhkan penambahan supply, sedangkan tenaga keperawatan (perawat dan bidan) serta sebagian tenaga kesehatan masyarakat telah sangat mencukupi.

Menilai dari sisi jumlah saja tentu tidak cukup. Perlu juga dipertimbangkan dari kebutuhan tiap kelompok/jenis tenaga kesehatan, mutu dan distribusinya hingga pelosok nusantara. Data Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 menunjukkan kesenjangan terhadap sebaran tenaga kesehatan. Di DKI Jakarta saja masih ada 4 Puskesmas yang tidak memiliki dokter sama sekali, sementara di Puskesmas lain masih di Jakarta ada yang sampai memiliki 27 orang dokter. Apalagi untuk kawasan Indonesia timur seperti Papua dan Papua Barat, jumlah Puskesmas yang tidak memiliki dokter sekitar 16% dari total Puskesmas yang ada di kawasan tersebut. Itu baru dokter, belum lagi tenaga kesehatan lainnya. Sebagai contoh misalnya perawat, rentangnya bahkan mencapai 0-97. Artinya ada Puskesmas yang sama sekali tidak memiliki perawat, akan tetapi ada satu Puskesmas yang memiliki hingga 97 perawat. Belum lagi bila kita bicara mutu atau profesionalisme mereka, tentu akan lebih sulit lagi mengukurnya. Tak perlu lah kita menyiapkan instrumen yang canggih untuk menilainya, cukuplah dari berita atau informasi yang sering kita baca, dengar dan lihat. Atau bahkan dari pengalaman pribadi dan keluarga kita selama berinteraksi dengan tenaga kesehatan. Jadi untuk mengatur ratusan ribu orang yang akan melayani ratusan juta rakyat Indonesia memang bukan perkara mudah.

Masih dalam UU Nakes tersebut, meskipun tentu masih akan banyak membutuhkan aturan turunan, akan tetapi UU ini rasanya sudah sangat ketat mengatur semua aspek pengelolaan tenaga kesehatan. Hakekat dari diterbitkannya UU ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan yang bermutu sekaligus melindungi masyarakat dan tenaga kesehatan dalam proses memberi dan menerima upaya kesehatan. Pada UU ini, tenaga kesehatan dikelompokkan menjadi 13 antara lain tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lainnya. Selain itu juga diatur mengenai manajemen tenaga kesehatan pada aspek perencanaan, pengadaan, pendayagunaan dan perijinan yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan baik dalam sisi jumlah, jenis maupun kompetensi serta pemerataan distribusinya. Disamping itu juga mengatur mengenai hak, kewajiban, kewenangan serta standar profesi dan standar pelayanan berikut SOP dalam menjalankan praktiknya.

Lantas apakah dengan sedemikian diaturnya apakah ada jaminan semuanya akan beres? Pasti tidak. Sebenarnya untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu harus dimulai dari hulu yaitu sejak proses rekrutmen di institusi pendidikan. Begitu juga dalam hal perijinan pendirian institusi pendidikannya, harus melalui proses seleksi dan penetapan yang sangat selektif, sehingga tidak akan ada lagi ucapan yang muncul dari seorang Menteri Kesehatan yakni ‘Fakultas Kedokteran abal-abal’. Melihat tugas dan kewenangan pemerintah yang menjalankan fungsi pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap institusi pendidikan kesehatan, rasanya seperti menjilat ludah sendiri ketika didapati fakta ternyata ada FK abal-abal tadi!

Sekilas memang tenaga kesehatan yang ada saat ini ditinjau dari berbagai sisi memang jauh dari yang diharapkan. Sudah jumlahnya belum memadai, kualitasnya banyak yang mempertanyakan, sebarannya pun masih jauh dari kebutuhan riil di lapangan. Lalu apakah mereka siap memberikan layanan terbaik bagi masyarakat? Sanggupkah mengikuti perkembangan jaman dengan adanya program-program pro-rakyat macam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang niscaya menuntut kerja keras dalam memberikan pelayanan prima? Sanggupkah tenaga kesehatan Indonesia berkompetisi dengan tenaga kesehatan asing yang siap menyerbu Indonesia akhir tahun ini pada masa pasar bebas ASEAN (MEA)? Jawabannya pasti dan harus bisa. Justru pesimisme dan tantangan sebagian orang tersebut harus dijawab dengan kerja nyata.

Pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat dan seluruh komponen bangsa memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing dalam membenahi permasalahan di bidang ketenagaan kesehatan. Kementerian Kesehatan dan jajarannya beserta organisasi profesi harus mengawasi benar implementasi UU Nakes tadi untuk memastikan semuanya berjalan dalam koridornya. Tenaga kesehatan sendiri harus aktif dan mandiri untuk terus menerus meningkatkan kapasitasnya, meng-update kemampuannya, dan juga mengasah empati terhadap pasien. Masyarakat juga harus memainkan perannya. Jadilah pasien yang cerdas, percayakan pemeriksaaan kesehatan kepada tenaga kesehan Indonesia dengan tidak mudah bepergian keluar negeri hanya untuk berobat ringan. Tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang dimiliki negeri ini sudah dapat diandalkan. Kejadian-kejadian seperti malpraktik jangan dijadikan alasan untuk men-generalisir bahwa seluruh tenaga kesehatan di Indonesia tidak cakap dan pelayanannya buruk. Jika seluruh komponen bangsa ini bersatu mengatasi permasalahan tersebut diatas, cita-cita untuk memiliki jajaran tenaga kesehatan yang kompeten di bidangnya masing-masing dan punya ketulusan dalam melayani sepertinya bukan sebuah mimpi lagi.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun