Mohon tunggu...
AjiK KojjeK
AjiK KojjeK Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.belajarsejenak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Parsel Katolik dan Kupat Lebaran

25 Juli 2015   09:53 Diperbarui: 25 Juli 2015   09:53 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran tahun ini (2015) ada salah satu adegan yang waktu saya mengalaminya merasa “bersyukur” sambil membatin, “mungkin rasanya seperti ini merasakan indahnya bersaudara”. Sehari sebelum lebaran datang seorang tetangga (Katolik) yang mengantarkan parsel dalam satu kardus yang dibawakan khusus untuk orang tua saya. Ada perasaan bahagia yang lebih, bukan cuma karena dapat parsel yang lumayan tapi perhatiannya itu lho. Belum cukup sampai disitu. Esoknya karena sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga saya kalau lebaran seperti keluarga muslim lainnya (mungkin) juga membikin kupat. Tentu saja dengan segenap uborampenya, ada opor, ada sambel goreng krecek, krupuk dll. Paginya setelah semuanya beres, giliran saya diutus ibu saya untuk gantian mengantarkan kupat dan uborampenya itu kerumah saudara tadi yang kemarin sudah memberi parsel tersebut. Ternyata tidak cuma itu, ada satu lagi untuk tetangga (Kristen) yang lain, analisa saya kenapa ibu saya memberi tetangga itu karena dulu bulan desember tahun lalu, Beliaunya pas Natalan juga memberi sesuatu ke orang tua saya.

Dari kejadian tersebut, ada rasa kemenangan. Kemenangan di hari lebaran. Kemenangan bertetangga, kemenangan beragama. Pagi itu pun saya dapat pelajaran berharga, bahwa saling memberi itu nikmat dan indah. Simple sekali, ini perkara manusia satu memberi manusia yang lain. Kalaupun kebetulan agamanya berbeda itu cuma teknis saja, yang menambah kemesraan itu kian terasa indahnya.

Manusia, sebelum mempertajam perbedaan pada dirinya masing-masing dari warna kulit, dari asal daerah, dari agama dari apapun saja, sejatinya kita semua sama-sama manusia. Banyak persamaan diantara kita. Sama-sama berkeluarga, berketurunan, bekerja, sesekali piknik, bergaul, berproses dan tumbuh, sama-sama numpang hidup di bumi ini. Ada banyak kesamaan diantara kita. Tetapi kenapa kok kita kadang senang sekali mencari perbedaan. Tidak mengherankan, itu juga tidak buruk hanya saja untuk ranah pengetahuan memang kita butuh tahu detail perbedaan. Untuk menyaring informasi, perbedaan, bahkan yang detail perlu kita tahu dalam rangka belajar pengetahuan. Tetapi pada ranah kebijaksanaan maka yang perlu kita gali adalah kesamaan-kesamaan. Termasuk didalam pergaulan umat manusia. Perbedaan pasti ada, dan biasa saja, tidak perlu ditonjol-tonjolkan tapi juga tidak perlu ditutup-tutupi. Kedewasaan kita sebagai manusialah yang perlu terus diupgrade, terus ditumbuhkan. Kedewasaan untuk berbeda. Sebab perbedaan itu niscaya. Sidik jari manusia tidak ada yang sama, bahkan oleh saudara kembar sekalipun. Menjadi manusia memang lebih utama dan menjadi prioritas. Bahwa secara kebetulan karena kita ini manusia maka kita lantas menemukan peran bermacam-macam itu konsekuensi berkehidupan saja.

Memperlakukan perbedaan sewajarnya. Tidak usah ke orang lain, lha dengan diri kita yang kemarin saja sering kok kita tidak setuju. Apalagi dengan diri kita yang besok, amat mungkin kitapun juga tidak setuju, itu masih dengan diri kita sendiri. Apalagi dengan orang lain, berbeda itu wajar. Masalah muncul kemudian ketika perbedaan dianggap sebagai pemicu perpecahan, perbedaan disikapi sebagai sebuah permusuhan. Pada akhirnya pun perbedaan menjadi bahan bagi orang-orang yang ingin melihat kita bertengkar satu sama lain. Perbedaan dieksploitasi sedemikan rupa, di-bedak-in, dimakeup sehingga dari perbedaan yang tampak adalah ajakan perang. Perbedaan seperti santapan yang siap diterkam. Ganyang sana-ganyang sini karena beda. Tidak mudah memang dewasa terhadap perbedaan. Tetapi mau tidak mau harus kita hadapi. Menyadari adanya perbedaan. Setelahnya mengolah perbedaan menjadi sesuatu yang indah. Perbedaan bukan menjadi bahan perang, tetapi perbedaan menjadi bahan bermesraan. Perbedaan menjadi sarana untuk berdialektika dan tumbuh bersama. Itu seiring dan sejalan dengan seberapa pertumbuhan spiritual dan kedewasaan kita sebagai umat manusia. Makin mendalam seseorang beragama, linier dengan kesediaannya untuk menampung perbedaan. Makin sungguh-sungguh seseorang beragama, makin selaras dengan toleransinya kepada umat lain. Makin serius seseorang beragama, makin sejalan dengan kelihaiannya untuk sanggup memperindah perbedaan sehingga menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk semua umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun