berita hoax terutama di media sosial. Maka dari itu perlu bagi kita untuk menyaring masuknya informasi yang kini dengan cepat beredar dan lebih cermat baik dalam menerima maupun menyebarkan informasi.
Belakangan ini terutama di Indonesia terasa semakin marak tejadinyaSeiring dengan perkembangan teknologi, penyebaran informasi menjadi tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Kemudahan dan kesetaraan akses juga membuat siapa saja dapat dengan mudahnya menerima, membuat, dan menyebarkan informasi. Suatu peristiwa yang terjadi di satu tempat dengan mudahnya tersebar di belahan dunia lain dalam kurun waktu yang sangat singkat.
Di masa pandemi banyak pula tersebar berita palsu contohnya masyarakat Indonesia yang disebut lebih kebal terhadap virus Covid-19, obat covid-19 dari daun pepaya, adanya chip tertentu yang terdapat dalam kandungan vaksin covid-19 dan lain sebagainya.
Namun apa yang kemudian menjadi faktor maraknya penyebaran berita hoax itu sendiri? Seorang penulis filsafat dan kritikus sastra Martin Suryajaya memaparkan bahwa dewasa ini ditengah geliat perkembangan teknologi dan informasi, sedang terjadi sebuah fenomena yang disebut matinya kepakaran.
Pada tahun 2017 seorang ahli di bidang publik Tom Nichols menebitkan buku berjudul “The Death of Expertise”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa dalam kurun satu dekade kebelakang ini terjadi fenomena dimana pakar semakin lama semakin tidak lagi menjadi rujukan masyarakat.
Sebagai contoh, berita hoax terbesar yang belum lama beredar di masa pandemi adalah di awal kedatangannya beberapa orang bahkan tokoh-tokoh di berbagai negara berpendapat bahwa Covid-19 bukanlah suatu hal yang nyata melainkan hanya flu biasa saja. Virus tersebut kemudian bisa dimatikan hanya dengan langkah sederhana entah itu dengan ramuan herbal alami, jenis obat makanan tertentu dan lain-lain dengan dalih bahwa isu pandemi ini hanyalah konspirasi politik dan bisnis semata.
Pendapat dan seruan seperti diatas bukan saja menolak sains tapi juga seolah menolak semua fakta yang diajukan oleh para pakar kedokteran dan virologi. Lebih tepatnya bahwa pakar sudah tidak lagi menjadi satu-satunya rujukan dan rujukan tersebut sekarang bisa didapat dimana saja melalui internet. Seseorang yang sebenarnya bukan ahli pada bidangnya tiba-tiba seolah menjadi ahli pada bidang tertentu setelah menggali informasi dengan membuka internet, wikipedia, dan masuk kedalam forum-forum informasi lainnya.
Lebih fatal lagi informasi semacam ini seringkali disampaikan oleh orang-orang yang memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi banyak orang seperti tokoh masyararakat atau artis sosial media dan mengalahkan fakta sains yang dikeluarkan oleh para pakar di bidangnya masing-masing. Sederhananya dengan kemudahan akses informasi maka siapa saja dianggap dengan mudahnya pula menjadi ahli pada bidang yang bukan dikuasainya.
Padahal terdapat perbedaan dimana seorang pakar yang ahli pada bidang tertentu sudah pasti memiliki kerangka metodologi yang kuat pada bidangnya tersebut. Sedangkan seorang otodidak yang belajar dari internet sederhananya hanyalah pengepul informasi yang mungkin memiliki informasi tapi tidak mengetahui bagaimana informasi tersebut dapat dihasilkan dari suatu metode penyimpulan bukti.
Berita hoax semakin tak terbendung di negara demokrasi dimana kebebasan bersuara dan berpendapat merupakan hal fundamental yang tidak dapat diganggu gugat. Semua orang berhak menerima, membuat, dan menyebarkan inormasi.
Faktor ini setidaknya dapat menjadi tameng bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi pesatnya laju informasi. Informasi hanya akan dianggap valid jika bersumber dari pakar atau ahli pada bidang yang terkait saja. Juga bagi kita yang hendak membuat dan menyebarkan inormasi, akan lebih bijak bila hanya memuat informasi yang memang sesuai dengan latar belakang dan pengetahuan yang kita kuasai.