Mohon tunggu...
Ajie Muhammad
Ajie Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Pencari Nilai

17 Mei 2016   13:46 Diperbarui: 24 Mei 2016   02:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pembelajaran di sekolah tentunya sudah tak asing lagi dengan apa yang disebut dengan nilai. Nilai merupakan skor hasil pembelajaran yang diberikan guru kepada siswanya. Atau juga merupakan hasil dari diadakannya ujian atau suatu test tertentu baik secara praktek maupun tulis. Nilai dalam pembelajaran dijadikan acuan guru untuk mengukur kemampuan muridnya dan mengklasifikasikan mana murid yang pandai dan kurang pandai. Tentunya anak yang mempunyai nilai yang tinggi adalah anak yang disebut pandai, dan yang rendah disebut kurang pandai.

Dalam pembelajaran siswa dituntut memperoleh nilai yang semaksimal mungkin dan setinggi mungkin. Di dalam kelas pun, diadakan sistem rangking yang membuat siswa terpicu untuk bisa menjadi rangking #1 atau menjadi juara kelas. Dalam ujian-ujian test hasil belajar pun juga mempunyai standard nilai tertentu atau nilai minimal yang harus dicapai. Apabila siswa gagal mencapai nilai minimal yang ditentukan, maka dinyatakan tidak lulus. 

Tuntutan dan sistem diatas bertujuan memicu siswa agar mempunyai tekad yang kuat untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa lulus dari hasil test belajar. Dan membuat siswa mempunyai kompetisi belajar sehingga mereka termotivasi untuk terus belajar yang menjadi yang terbaik di kelas atau di lingkup pembelajaran tertentu.

Dengan adanya sistem rangking dan kelulusan, para pelaku pembelajaran menginginkan siswa mampu belajar giat dan berkompetisi dengan sehat. Namun, apakah kenyataannya demikian? Tolak ukur nilai menjadi sesuatu yang dianggap paling penting dalam unsur pembelajaran. Nilai menjadi sesuatu yang didewakan. Tak hanya siswa yang mendewakan nilai, tetapi juga pelaku pendidikan yang lain. Seperti guru, orang tua, panitia pendidikan yang mengontrol terlaksananya proses pendidikan, dan Pembina pendidikan yang merancang kurikulum dan mengawasi proses pendidikan. 

Mereka menganggap siswa yang mendapat nilai tertinggi adalah siswa yang paling pandai. Akan tetapi dengan acuan nilai tersebut seakan-akan memaksa semua pelaku pendidikan menambahkan jam pembelajaran untuk siswa. Di sekolah diadakan jam tambahan pembelajaran, orang tua mendaftarkan anaknya private lesson atau less private, dan usaha-usaha lain untuk menambah jam belajar anak atau siswa. Tujuannya tentu agar siswa memperoleh waktu lebih untuk belajar. Sehingga siswa menguasai materi pembelajaran dan ketika diadakannya ujian siswa bisa memperoleh nilai yang tinggi. Namun apa kenyataannya? Dengan jam belajar yang banyak tidak menjadikan anak mampu menguasai semua materi yang disampaikan. 

Justru mayoritas siswa menjadi jenuh dan lelah karena jam belajar yang berlebih. Alhasil mereka tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik dan pembelajaran menjadi tidak efektif dan membuang-buang waktu. Akhirnya siswa yang kelelahan dan tidak mampu menangkap pelajaran, melakukan kecurangan dalam ujian. Mereka bekerja sama dengan teman, menyontek buku, bahkan yang telah terjadi ketika diadakannya UN (Ujian Nasional) siswa membeli kunci jawaban untuk membantunya menerjakan soal. Tentunya hal tersebut merupakan hal yang illegal untuk dilakukan siswa. Mereka melakukan ini karena terpaksa. 

Karena mereka kurang menguasai materi dan dituntut untuk lulus dalam ujian. Secara naluri mereka melakukan kecurangan itu karena desakan lulus dan mendapat nilai yang tinggi. Realitanya, apakah mengejar nilai menjadikan siswa lebih giat belajar? Mungkin sebagian siswa demikian. Namun kenyataannya kebanyakan siswa yang terpojokkan justru terbentuk mental kecurangan pada diri mereka karena keterpojokan yang mereka alami. Demi lulus dan memperoleh nilai yang tinggi.

Ironis memang. Pembelajaran dengan goal adalah nilai membuat pelaku pendidikan berbuat kejahatan kepada siswa atau anak. Semua jam anak untuk bersenang-senang dan bermain menjadi sangat terbatas. Padahal dengan bermain anak-anak bisa mengembangkan imajinasi dan kreatifitasnya. Justru waktunya habis untuk mengejar nilai dan kelulusan di sekolah atau tempat belajarnya. Kejahatan tersebut harus segera dihentikan. Semua pihak pelaku pendidikan harus merubah goal atau tujuan dari pembelajaran. 

Bahwa sejatinya belajar itu merupakan proses untuk menuntut ilmu dan memperoleh pengetahuan. Bukan menuntut nilai saja. Karena sebenarnya nilai itu merupakan evaluasi belajar. Seberapakah keberhasilan belajar dan seberapa ilmu yang dikuasai oleh siswa. Bukan nilai tujuan belajar sesungguhnya. Jadi para pelaku pendidikan harus merubah sistem yang sejatinya belajar adalah menuntut ilmu, bukan menuntut nilai yang tinggi saja. Siswa dituntut hanya mengejar-mengejar nilai tanpa tahu isi dari ajaran yang mereka peroleh. “Alah, yang penting aku lulus, yang penting dapat nilai bagus” begitu benak kebanyakan siswa. Tanpa memperdulikan paham atau tidak dengan pelajarannya.

Mereka para pelaku pendidikan harus berhenti berfikir bahwa siswa pandai adalah siswa dengan nilai tinggi saja. Realitanya tak sedikit orang yang gagal dalam sekolahnya justru menjadi orang sukses, dan orang yang selalu juara kelas selama ia sekolah justru tak sesukses orang gagal sekolah. Realitanya begitu bukan? Jadi sekolah itu seharusnya mengarahkan siswa untuk mempunyai mental rasa ingin tahu dan belajar pengetahuan, mengembangkan kreatifitas siswa dan, kemampuan siswa. Yang paling utama adalah ilmu apa yang didapatkan siswa, apa yang meningkat dari kemampuan siswa, dan seberapa kreatifnya siswa. Bukan nilai yang jadi tolak ukur pembelajaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun