Mohon tunggu...
Ajie Muhammad
Ajie Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Permataku yang Hilang

2 Agustus 2016   12:01 Diperbarui: 2 Agustus 2016   12:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pulang, dan selesai sudah semua proses yang panjang. Kejadian yang tak sanggup dikenang. Peristiwa yang sempit tiada lapang. Tiada membuat kalbu tenang. Tiada memberikan rasa senang. Semuanya telah terbuang. Semua telah hilang. Semua kisah akan kasih, segemerlap mutiara kerang, pergi jauh melayang. Tak ingin lagi terlintas dalam bayang. Tapi tak terpungkiri, dalam kalbu masih dipenuhi rasa sayang.

Sakit teriris sepi. Cinta yang dulu memberi hati. Cinta yang dulu menoreh mimpi. Mimpi untuk terus berbagi. Mimpi untuk terus memberi. Tak akan pernah berhenti itu terjadi, sampai ajal menghampiri. Tak tahu diriku. Tak sampai aku. Tak habis pikir aku. Tak pernah terlintas dalam kalbu. Bahwa ternyata dirimu, membingungkanku. Teta-teki dalam hidupku. Berubah tiap waktu, berganti tiap bertemu.

Ku tak mengerti. Ku tak tahu apa yang baru saja terjadi. Ku terguncang tak sadarkan diri. Terombang-ambing dalam angan dan nurani. Sungguh ku tak mengerti. Apakah benar ini adalah hari. Apakah benar ini nyata dan berarti. Tak dapat kupercayai. Masih ku yakini dalam sanubari, ini adalah mimpi. Ini tidak benar-benar terjadi. Ini hanya mimpi. Ini tidak terjadi. Tak kan pernah ada dalam kronologi. Ini mimpi, hanyalah mimpi.

Aku menyakitiku. Kucupit, kupukul, kutampar dengan batu. Supaya terbangun dari mimpiku. Agar tersadar dari hayalku. Sakit menderu, perih yang menyerbu. Sakit kusiksa diriku. Kukira itu hanya hayal dalam kalbu. Kukira itu hanyalah mimpi yang akan berlalu. Tidak! Itu benar-benar nyata. Itu benar-benar ada. Itu bukanlah hayal saja. Itu tidaklah mimpi semata. Sakit diri ini kusiksa. Namun, sakit itu tak seberapa. Dibanding perih yang menyayat di dalam dada.

Derah amarah tak bisa terelakkan. Desah keluh tak mampu ditahan. Sakit perih tak sanggup membutakan. Sadar bahwa yang demikian adalah kenyataan. Yang demikian terpampang di hadapan. Nyata penuh keyakinan. Bukan mimpi mengelabuhi angan. Aku melihat betul demikian itu. Tak sanggup menahan kuasa diriku. Tak mampu menampik luapan kalbu. Hatiku panas menderu. Tak terasa butir-butir tirta menetes di pipi. Mengalir bak air bah dari puncak tertinggi.

Pertama kali. Tirta deras mengalir membasuh hati. hati yang hancur tersakiti. Kalbu yang terbuang tak disadari. Rasa ini, sungguh memaksa hilang kesadaran diri. Hancur, Hancur sehancur-hancurnya. Sudah diam mulut berkata. Telah bisu kalbu berbicara. Hilang semua fungsi indera. Tak sanggup berbuat apa-apa. Diam seribu bahasa. Termenung seperti pertapa. Menyesali semua kejadian nyata. Baru saja itu ada. Mungkin menjadi sedikit gila. Otak warah akan pergi entah kemana. Demikianlah, menjadi gila. Atau mungkin, hanya melukis rasa dengan pena. Menoreh tinta mewujud aksara dalam cerita.

Permataku yang hilang. bak ungkapan seorang pemuda. Pemuda dalam cerita. Isi hati seorang yang perkasa. Perkasa dalam peperangan cinta. Kini menjadi kisah nyata. Kisah yang ada, bukan hanya dalam cerita. Akankah aku sekuat dia? Perkasa melawan deruh rasa. Rasa yang menyakiti dirinya. Menyiksa dan membunuh jiwanya.

Permataku yang hilang. kata itu sekarang menjadi milikku. Curahan yang sekarang terucap dalam mulutku. Menderu dalam kalbu. Tertoreh di dalam hatiku. Wahai engkau permata. Engkau yang telah mengukir cerita. Cerita kita berdua. Masa-masa penuh suka duka. Kini kau telah menggores luka. Membunuh jiwa, melemahkan rasa cinta. Membuang semuanya. Kau telah hilang dari kuasa. Benci aku kini padamu. Kau tega sakitiku. Kau sanggup membunuh aku, yang dulu kau panggil “sayangku”. Namun, tak mampu aku. Tak sanggup diriku. Menanam dendam dalam kalbu. Memupuk kebencian di sanubariku. Masih selalu. Selalu namamu. Terpatri dalam hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun