Mohon tunggu...
Ajie Dzulvian Akbar
Ajie Dzulvian Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa yang terus mencari makna sebuah arti dari pelbagai diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Wangi: Pengarang Perempuan Kontemporer Pengangkat Hal Tabu

20 Juni 2022   17:09 Diperbarui: 20 Juni 2022   17:12 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal mula perkembangan sejarah sastra setelah pasca kemerdekaan muncul pengarang perempuan yaitu Nh. Dini. Dengan cerpen-cerpennya bertajuk kepincangan-kepincangan sosial di sekelilingnya, seperti dalam cerpennya "Kelahiran" dan "Perempuan Warung". 

Seiring berkembangnya dunia sastra Indonesia banyak bermunculan pengarang wanita seperti, Ernisiswati Hutomo, Sugiarti Siswadi, Ratna Indraswari Ibrahim, Dayu Oka Rusmini, dan lain sebagainya.

Pelabelan "Sastra Wangi" diawali dengan kemunculannya sosok Ayu Utami dengan novel pertamanya yang berjudul Saman. Novel pertama yang dikemas dengan ciri mengangkat hal tabu yaitu hubungan seks. Selain itu novel tersebut menggambarkan kondisi sosial, politik dan budaya pada masa itu, yang di beri seting Indonesia di era 80-an sampai 90-an. Novel Saman mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1997.

Novel Saman membawa hal baru khususnya untuk dunia sastra Indonesia. Selain itu novel ini penjualannya mencapai angka yang sangat tinggi sampai di cetak sebanyak 22 kali. Penerjemahan novel tersebut ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda menandakan bukti kesuksesan pada novel tersebut.

Ayu Utami menggemas novel Saman dengan detail terkait hubungan badan dan menyebutkan secara gamblang setiap alat vital. Dengan demikian banyak sastrawan yang menganggap tabu sehingga menyebabkan munculnya label "Sastra Wangi". Pelabelan tersebut pada hakikatnya didasari oleh media yang memegang budaya patriarki.

"Sastra Wangi" belum muncul ketika Ayu Utami meluncurkan karyanya yang fenomenal tersebut, yaitu Saman. Sastra Wangi muncul ketika setelah para pengarang perempuan kontemporer cantik lainnya menerbitkan karya-karya mereka, seperti Supernova karya Dewi Lestari, dan Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Setelah karya-karya tersebut muncul di masyarakat sehingga melahirkan label "Sastra Wangi" bagi para pengarang perempuan dengan tema yang memiliki kesamaan, dan dengan kesamaan latar belakang yaitu pengarang perempuan muda kontemporer.

Label "sastra wangi", di satu sisi, membuat risih  para pengarang perempuan ini. Mereka menganggap sebutan itu sebagai bentuk ejekan, atau menggunakan frasa salah seorang kritikus sastra sebagai bentuk cynical ploy . Sebagian menyesalkan mengapa karya sastra dikategorikan berdasarkan dari penampilan fiskalnya, bukan atas genre, atau gaya dan semangatnya. Atau novelis lain mengatakan label itu menjadikan mereka seperti idiot, "It kind of make us look like idiot." Di sisi lain, mereka juga mengakui bahwa label ini juga menjadi faktor positif bagi penerimaan pasar pembaca di Indonesia---satu pandangan yang sedikit 'kapitalis' (Lipscombe : 2005)

 Jauh sebelum Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Dewi Lestari banyak karya sastra vulgar yang menyebar di masyarakat. Karya-karya tersebut dapat di sebut sebagai karya "Stensilan" karya-karya yang bertajuk pada tema erostisme, seperti Fredy S., Enny Arrow, dan lain sebagainya.

Djenar Maesa Ayu di labelkan sebagai "Sastra Wangi" dengan menerbitkan karya dengan tema yang sama, menyikapi yang selama ini di anggap tabu oleh masyarakat. Seperti dalam karyanya yang berjudul Menyusu Ayah (2002). Karya tersebut bertajuk tema tentang kekerasan seksual. Dan beragai karya lainnya seperti Mereka Bilang Saya Monyet (2002), Nayla (2005), Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004).

Dewi Lestari juga masuk ke dalam pelabelan "Sastra Wangi" dengan menerbitkan karyanya yang fenomenal dan bertajuk tema yang serupa yaitu Supernova (2001) sudah mencapai lima kali cetak ulang, dengan jumlah eksemplar sebanyak 75.000. Novel pertama yang memanfaatkan sains dengan fiksi. Dikemas dengan dialog-dialog istilah sains, serta pemaparan berbagai teori sains.

Pada hakikatnya karya sastra secara harfiah di angkat dari apa saja  yang terjadi di dunia nyata, yang sebagian memang berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal tabu tidak dapat menutupi ketakutan besar yang terjadi di masyarakat, seperti ketimpangan jender, ketidakadilan, penyimpangan seksual, dan lainya. Karya sastra hadir untuk menegur dengan teknik yang indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun