Mohon tunggu...
Nard Nes
Nard Nes Mohon Tunggu... karyawan swasta -

it's me

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena “Lusan” Kuharus Mengakhiri Hubunganku Dengannya

12 Juni 2011   20:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya terlalu berat bagiku untuk membuka kembali lembar-lembar memory yang sudah tertutup rapi di pojok hati. Hanya atas dasar ingin berbagilah aku menceritakan ini semua, aku sudah melewatinya, aku tahu betapa dasyat berat dan siksaan bathin saat berusaha sampai ke titik dimana sekarang aku berada.

Ini kisahku, kisah dimana ku harus mengakhiri hubunganku dengan orang yang amat sangat ku kasihi selama bertahun tahun. Kisah terindah yang selama hidupku, penuh canda tawa, walau tidak jarang juga dengan air mata. Kisah yang mengajarkanku bagaimana menjadi seorang laki-laki, membuat diriku tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pemenang dalam sebuah pemilihan. Pahit, manis, getir, asam tercampur menjadi satu membalutnya.

Kisah ini berawal dari sebuah acara kepemudaan di daerah di mana aku tinggal, Wirobrajan, Yogyakarta. Sebut saja Youth Camping, demi menggalang rasa persaudaraan dan acaranya di adakan di Kedung Kayang, desa Wonolelo, Muntilan, Jawa Tengah. Acara berlangsung selama tiga hari, 6-8 Oktober 1999. Disana ku mengenal seorang wanita yang ternyata tidak begitu jauh dari rumahku. Singkat cerita kamipun berpacaran, walaupun untuk mendapatkannya aku harus kehilangan dua orang sahabatku yang ternyata menaruh hati pada orang yang sama, dua orang sahabat yang selama ini menemani hari-hariku bermain musik, mendaki gunung, hunting foto, berbisnis menjual kompuer yang kami rakit bersama. Namun apa boleh buat, semua telah telah terjadi dan aku yang dipilihnya.

Hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun demi tahun telah berganti, tidak ada yang berubah ku tetap mencintainya, malah rasa ini semakin bertambah. Aku sudah akrab dengan keluarga besarnya, begitupun pula dengan dia di keluarga besarku. Semuanya berjalan dengan lancer, sampai suatu ketika di malam bulan mati yang tidak angin berhembus sama sekali sepulannya aku dari rumahnya.

Ayahku yang sedang berada di teras tiba-tiba bertanya, “Atiek kuwi tunggale piro, anak nomer piro?”

Aku menjawabnya setelah memasukkan motor “Tiga bersaudara, dia ragil.”

Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ayah terus berujar “Kuwi lusan, malati!”

Aku hanya bengong, tidak mengerti maksudnya apa perkataan itu. Ayah kembali berkata “Jaman mbiyen, nek anak nomer siji entuk anak nomer telu kuwi jenenge lusan, embuh sesuk nek wis dadi manten ono wae alangane, mbuh rejekine seret, gampang loro-loronan, ora akur le omah-omah, iso nganti salah siji sing ra kuat bakal mati. Neng nek kowe ora percoyo yo ra popo”

Memang bener adanya aku adalah anak mbarep dan dia ragil dari 3 bersaudara, walaupun ayah mengawali perkataannya dengan jaman dulu tetap saya perkataannya itu buatku khawatir akan sesuatu, segera ku tinggalkan beliau, masuk kamar dan pengen cepat-cepat tertidur hingga hilang semua cemas.

Satro Piningit dan Satra Ceto

Ada 2 jenis sumber kebudayaan dalam masyarakat Jawa, yang pertama adalah satra piningit. Satra yang mempunyai arti pengetahuan dan piningit berarti rahasia. Jadi ilmu pengetahuan ini bersifat rahasia ini di ajarkan, atau di babarkan secara diam-diam hanya kepada beberapa orang yang di anggap pantas untuk menerima pengetahuan ini saja. Ada salah kaprah yang sangat fatal bagi hampir semua orang, yaitu klenik, dalam bahasa jawa klenik berarti bicara dengan pelan-pelan, atau berbisik. Itulah cara penyampaian tentang sastra peningit ini, karena cara penyampiannya itulah di sebut ilmu klenik. Tapi hari ini kata ilmu klenik menjadi konotasi yang bermakna sesuatu yang ngawur, tidak benar, sesat, dan tidak ilmiah. Cara penyampaiannya yang klenik tadi berarti penyampaian dengan secara lisan, tidak di perbolehkan untuk menulis, semuanya harus di ingat dalam pikiran dan di masukkan dalam hati. Hingga hal itu menjelaskan mengapa tidak ada buku mengenai kejawen dari sejak jaman dahulu.

Yang kedua satra ceto, ceto berarti jelas terlihat. Ada beberapa aliran dalam masyarakat Jawa yang memperbolehkan ajaran-ajaran yang di dapat untuk di tulis sehingga orang lain dapat memperoleh pengetahuan ini dengan cara membaca, banyak sekali contoh-contoh yang sekarang bisa di peroleh dengan mudah, antara lain primbon Adammakna. Ilmu tentang kalender jawa dan berbagai macam acara ritual upacara-upacara tradisional, pertunjukan wayang kulit dan lain-lain.

Lalu dimanakah ilmu yang mengajarkan tengan tata karma, tata susila dalam masyarakat Jawa? Sepertinya ini menjadi bagian dari satra piningit dimana susah sekali mencari refensi yang akurat tentang sesuatu hal, akibat dari bahasa tutur ini para orang tua sekarang hanya bisa berkata Pokok’e Ojo. Ndak Malati(kuwalat) kowe” tanpa bisa menjelaskan bagaimana dan mengapa hal itu di larang atau di haruskan. Seperti yang kualami, bagaimana aku seharusnya mengambil keputusan dalam hubunganku dengan sang belahan jiwa. Terus dengan resiko tanggung sendiri, atau selesai sampai disini dengan hati yang hancur.

Semua refensi sudah aku coba cari, termasuk buku Keluarga Jawa karangan Hilderd Geertz, buku Kalangwan, karangan P.J. Zoetmulder, beberapa primbon, mulai dari Bethaljemur Adammakna, Lukmanakim Adammakna, Atassadhur Adammakna, Buku Kejawen Laku Menghayati Hidup Sejati oleh Suryo S. Negoro tidak membuahkan hasil yang memuaskan diriku. Sementara itu entah sugesti atau apa, hubungan kami pun mulai bermasalah, mulai dari hal-hal kecil yang menjadi besar, sikap posesif yang di ambang batas, penyakit yang aneh-aneh bergantian datang dan pergi, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam hubungan kami selama bertahun-tahun.

Akhirnya pada awal 2005, kami sepakat mengakhiri hubungan kami, mungkin salah satu alasan bagiku adalah aku tidak siap jika kami tetap bersama sepanjang kebersamaan kami, dia yang menderita. Lain halnya jika aku dapat memastikan bahwa akulah yang akan menderita akibat kebersamaan kami, aku akan ikhlas untuk itu. Terakhir khabar yang ku dengar 2010 kemarin, dia telah memiliki seorang putri yang cantik, secantik ibunya. Sementara diriku sekarang malah tertarik ke dalam seorang yang mendalami falsafah Jawa guna mencari gumelaring jagad, panalongso, pangareping rasa, mayangkoro dan yatno moyo.

Rahayu

Yogyakarta, 13 juli 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun