Dalam proses mencari keadilan dan menegakkan hukum, satu jalan terakhir yang dapat ditempuh untuk menemukan keadilan adalah melalui lembaga peradilan. Proses peradilan dilakukan dengan melalui rangkaian utuh dengan merangkai setiap bukti, penemuan, agar dapat menemukan kebenaran bahkan keadilan. Pada akhir proses peradilan dilakukan pemutusan oleh hakim yang bertugas untuk memeriksa perkara yang ditanganinya dengan pertimbangan-pertimbangan hukum dan kebebasannya dalam memutus suatu perkara. Tidak jarang pula hasil dari putusan akhir yang dijatuhkan tersebut dianggap tidak memuaskan baik para pihak atau masyarakat yang turut menyaksikan proses berlangsungnya perkara di pengadilan. Atas respon ketidakpuasan tersebut, masyarakat menunjukkan kekecewaannya dengan berbagai cara baik mengkritik secara objektif dan bahkan pada titik yang paling fatal yaitu melakukan penyerangan secara langsung kepada hakim baik pada saat berada di ruang sidang atau di luar persidangan.
Segala bentuk perbuatan yang dapat mengancam keamanan hakim baik ancaman terror, kekerasan baik fisik dan/atau psikologi, serta intervensi merupakan bagian dari tanggung jawab Komisi Yudisial untuk dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial tidak hanya bertugas mengawasi atas penyimpangan etika perilaku hakim tetapi juga melakukan pencegahan atas kesejahteraan hakim, yaitu melalui adanya advokasi hakim dan perlindungan hakim dari segala bentuk Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim.
Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim diakomodir melalui Komisi Yudisial melalui Peraturan Komisi Yudisal  Nomor 8 Tahun  2013  Tentang  Advokasi  Hakim  yang diperkuat pula dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Persidangan. Payung hukum yang dibuat oleh Komisi Yudisial bertujuan agar dapat tetap menjaga marwah hakim yang bertugas memimpin suatu sidang guna mencari keadilan. Beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Merendahkan Kehormatan  dan  Keluhuran  Martabat  Hakim  yaitu:
1. mengganggu  hakim  dalam proses persidangan;
2. mengancam keamanan hakim di dalam dan di luar persidangan  dan; Â
3. menghina hakim dan pengadilan adalah perbuatan yang dilarang dalam proses persidangan di peradilan.
Dalam melakukan proses atau tindak lanjut atas PMKH, Komisi Yudisial melakukan keputusan dengan aparat penegak hukum sebagai langkah hukum baik dengan cara koordinasi, mediasi, konsiliasi dan somasi bahkan melakukan follow-up untuk memastikan adanya perkembangan terhadap laporan yang telah dilakukan. Advokasi hakim yang ada di dalam Komisi Yudisial menunjukkan bahwa Komisi Yudisial tidak hanya sebagai pengawas hakim tetapi juga untuk mengadvokasi hakim dari perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran mata hakim.
Atas komitmen Komisi Yudisial dalam melindungi marwah hakim, maka timbul pertanyaan di benak masyarakat.Â
Apa urgensi untuk melindungi hakim ketika melaksanakan tugasnya?Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa hakim dilindungi bukan semata-mata hanya karena jabatan atau kekuasaan yang dimilikinya, akan tetapi bahwa tugas dan fungsi hakim tersebut erat kaitannya dengan nasib bahkan hidup-mati seseorang. Perlindungan terhadap hakim akan menghasilkan dari adanya independensi hakim yang bertugas. Independensi hakim yang dimaksud berarti hakim memutus suatu perkara bebas dari intervensi atau pengaruh-pengaruh eksternal dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai contoh, ketika seorang hakim mengadili suatu perkara, bagaimana bisa hakim bertugas dapat mengadili perkara sesuai dengan kebebasannya secara adil apabila mendapatkan ancaman kekerasan fisik, tekanan atau pengaruh secara psikologis? Tekanan yang dilakukan dapat dilakukan dengan berbagai  cara, baik kekerasan fisik untuk melukai atau menghilangkan nyawa, serta ancaman yang tidak hanya dilontarkan kepada hakim melainkan kepada anak-istri atau keluarga hakim agar terpengaruh dengan ancaman. Maka dari itu, marwah hakim perlu dijaga agar tetap memiliki independensi dalam mengadili dengan adanya penjaminan hak keamanan sebagai bentuk penghormatan atas keluhuran hakim yang tidak dapat semena-mena dikontrol oleh pihak eksternal.
Dewasa ini, advokasi hakim dengan penegakan etika hakim dapat diibaratkan dengan sekeping mata uang yang memiliki dua sisi, namun pada pokoknya memiliki nilai yang sama karena tujuannya yaitu sama-sama untuk menghasilkan independensi hakim dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses peradilan untuk mencari keadilan.  Kepercayaan publik atau public trust berkaitan dengan adanya kepuasaan di masyarakat, apabila tinggi tingkat kepuasan tersebut maka dapat berdampak pada kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Maka dari itu, Komisi Yudisial memiliki tanggungjawab yang cukup sentral terhadap tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum karena independensi hakim dan kode etik pedoman perilaku hakim (KEPPH) memiliki kausalitas terhadap putusan yang dihasilkan dengan kepercayaan  dan respon publik. Di samping itu, masyarakat dan juga aparat penegak hukum perlu memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kehormatan, martabat dan marwah hakim baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.
Apabila langkah represif yang dilakukan Komisi Yudisial terhadap kasus PMKH adalah dengan koordinasi, mediasi, konsiliasi dan somasi bahkan melakukan follow-up kasus yang dilaporkan. Di sisi lain yaitu langkah preventif, Komisi Yudisial melakukan pencegahan melalui edukasi terhadap masyarakat dengan  bermitra dengan fakultas hukum di beberapa universitas di Indonesia yang satu diantaranya adalah Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Melalui program klinik etik dan advokasi, kader klinik etik dan advokasi diharapkan dapat membagi ilmu yang telah dipelajari kepada orang lain sehingga bentuk perbuatan merendahkan keluhuran dan martabat hakim tidak menjadi bentuk justifikasi terhadap bentuk ekspresi kekecewaan yang dimiliki oleh masyarakat.
Source:
Peraturan Komisi Yudisal  Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Persidangan.