Pertengahan Oktober, sore hari dalam rinai hujan yang membasahi seluruh wilayah Jakarta. Tak salah pilihanku untuk nongkrong di sebuah kafe di kawasan Menteng. Selain suka dengan nuansanya yang oldies, klasik dan tenang serta rasa kopinya yang cozzy juga disini membuat betah duduk berlama-lama menerawang entah kemana dan mengeksplorasi alam pikiranku sendiri. Sering terlintas dalam pikiranku, why do people like oldies? Seolah mereka ingin kembali ke masa lalu... atau kah terkait dengan kecenderungan alam bawah sadar manusia untuk mengetahui semacam ‘past life’, asal usul atau apalah..
Seringkali pula teringat ucapan seorang teman yang mengatakan bahwa dalam hidup manusia, ketika hidupnya harus berakhir maka apa yang ada dan tercipta saat hidup akan terberai dan kembali bebas ke semesta... namun masing-masingnya..tiap-tiap partikel masih menyimpan kenangan dan memori yang sama. Lalu sesuai dengan hukum tarik-menarik semesta ini, pada suatu tempat yang sesuai dengan kehidupan di dunia ini, partikel yang sama akan berkumpul kembali....walaupun tidak tepat demikian karena ada bagian yang tidak ikut berkumpul kembali sehingga terasakan oleh kita ada bagian yang hilang. Itu sebabnya juga mengapa ada istilah ‘dejavu’...mengapa ada ‘soulmate’ atau ‘sigaraning nyowo’ ...karena partikelnya pernah menempati bagian yang sama di kehidupan sebelumnya..itupulalah asal mula kepercayaan reinkarnasi.
Jadi meskipun teman-temanku yang lain lebih memilih Starbuck, aku lebih suka menyendiri di kafe kenangan kami..menikmati blue mountain jamaica atau kopi luwak tradisional lampung. Terlebih nuansa disini sering membawa alam pikiranku ‘dejavu’ ke suatu masa entah kapan dan dimana... terlebih lagi bila Tari turut menemaniku nongkrong disini... ah Tari, pandangan mataku tak kan sanggup lepas dari menelusuri garis-garis wajahnya, dan itu pula entah kenapa anatara aku dan Tari seolah telah memiliki perasaan keterikatan yang sulit dijelaskan logika.
Nama lengkapnya Mentari, aku biasa memanggilanya Tari... dari namanya mengingatkanku pada tokoh dalam kisah Mahabharata yang bernama Banowati. Nama Banowati dalam bahasa Sansekerta dieja sebagai Bhanu yang berarti Matahari dan Matti atau Wati yang berarti wanita. Artinya wanita yang bercahaya seperti matahari. Bagiku Tari sangat kinclong, ibaratnya bahkan matahari pun enggan bersinar jika ia tersenyum..ya sangat cerah dan menawan. Bermata jaitan (tajam), dalam istilah Jawa ‘nyambel goreng’....seringkali ku merasa harus tunduk lirih tak kuasa menahan pesona tatapannya. Perilakunya lembut, tegas, mandiri, cantik dan terkadang genit. Just like Banowati, tidak hanya secara fisik... psikisnya pun demikian. Ya, karena saat ini ia memendam kecewa dengan pilihan hidupnya, kecewa dengan jodoh yang telah diatur oleh kedua orangtunya. Meskipun suaminya lelaki mapan dan terhormat di kalangan masyarakat, Tari tak dapat memaksa diri untuk bertahan membalas cinta sang suami. Almost exactly like Banowati... meskipun berstatus sebagai istri Duryudana, namun Banowati menikmati rendezvous dan impian-impiannya bersama Arjuna putra Pandu.
Disini kami menikmati rendezvous demi rendezvous, berbicara tentang pasar bursa, saham gorengan hingga berbagai strategi stop lose. Ia biasa memesan frappucino dingin sedangkan aku setia dengan blue mountain jamaica. Aroma kopi khas Jamaika ini sangat eksotik, apalagi sembari memandang wajah menarik Tari. Ia tak pernah tersipu malu, bahkan justru pandangan mata ‘nyambel gorengnya’ membuat hatiku tak berkutik... serasa semua partikel-partikel tulangku dilolosi satu persatu...serasa jatuh kehilangan ketinggian. Aku tertunduk, aku malu tapi aku pula tak berdaya... ingin kukutuk affair yang terlanjur kami jalin ini.. tapi aku tak pernah kuasa.
Teringat cerita melayu Bayan Budiman yang belakangan kuketahui terjemahan dari manuskrip Sansekerta yang berjudul Syukasaptati yang diterjemahkan oleh Ziyauddin Nakhsabi pada awal abad ke-16. Cerita tentang kecerdikan burung Nuri yang berhasil menyelamatkan istri tuannya dari dosa perselingkuhan dengan cara menceriterakan 70 kisah sarat makna dan pesan moral kesetiaan sehingga insyaflah istri tuannya.
Namun aku bukanlah burung nuri bayan yang budiman, aku pun tak punya kisah untuk diceritakan selain sosok Banowati sendiri. Arjuna yang telah memiliki Drupadi, Sebadra, Larasati, Ulupi, Lestari, Manohara, Gandawati..-dan entah siapa lagi- yang konon berjumlah empat puluh satu orang saja masih tergiur dengan kemolekan Banowati. Dan aku, memang saat ini telah didampingi seorang...meski bukan seorang Drupadi, and now so complicated, tentu saja karena kehadiran Tari.
Sore itu Tari hanya diam, mukanya memerah.. mungkin ia tersinggung. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, sungguh meskipun bertambah cantik wajahnya namun tetap tak ayal membuatku gusar. Kemudian dengan kasar ia bergegas keluar memanggil taksi lalu berlalu entah kemana. Setelah kuceritakan padanya tentang Aswatama, ksatria Kurawa yang sebanding Arjuna. Aswatama ksatria yang dikutuk Dewata hidup selamanya tanpa memiliki cinta. Cinta yang dimilikinya tak memiliki ruang dan pengakuan.
“pedalang Jawa seringkali mengolok-olok Banowati karena sifat genitnya. Dalam pementasan, peran olok-olok ini adalah bagiannya Petruk”
“Aswatama mencintai Banowati, namun karena kesetiaannya kepada Duryudana sang prabu maka ia rela Duryudana menikah dengan Banowati. Namun tidak demikian dengan Banowati yang karena telah terlebih dahulu mengenal ketampanan Arjuna, cintanya tertambat pada Arjuna... meskipun ia memutuskan rela dinikahi Duryudana namun ia mengajukan syarat berat, bahwa yang memerawani dan memandikan pertama kali haruslah Arjuna. Meskipun berat hati, namun Duryudana mengabulkan... “
“Suatu ketika Duryudana berhasil mempermalukan para Pandawa dengan cara melecehkan Drupadi pada sayembara dadu”