Sekarang mulai musim coblos mencoblos tanda gambar untuk mencari seorang pemimpin baik tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Dan tidak lama lagi kita juga memasuki kegiatan masal mencoblos nasional inggih meniko Pemilu 2014. [caption id="attachment_300878" align="aligncenter" width="226" caption="iqbalthemi.blogspot.com"][/caption] Dari sekian banyak warga negara Indonesia ternyata tidak semua menggunakan hak suaranya. Ada yang karena bersikap apatis dan juga karena alasan ideologi yang begitu kuat, akhirnya tidak menggunakan hak pilihnya. Masing masing mempunyai hak pribadi atas keputusannya, meskipun dalam pandangan bernegara, pilihan terakhir memang meruntuhkan eksistensi negara perlahan lalan. Belum lama saya membaca sebuah media lokal di Jogjakarta, pihak salah satu pemerintah kecamatan Kasihan Bantul melakukan sosialisasi kepada warganya agar pemilihan tingkat desa bisa berjalan dengan lancar. Hal ini dilakukan karena melihat gelagat di desa tersebut bahwa prosesi tidak akan berjalan sesuai dengan yang dikehendaki. Masyarakat banyak yang sudah ogah ogahan berpartisipasi dalam kegiatan ini. wis luweh kono kono... Diberbagi daerah di Indonesia tentu juga banyak terjadi hal serupa. Namun, ada juga masyarakat menunggu acara pilih memilih ini sebagai kegiatan yang menggairahkan. Melihat turunnya wahyu. Atau, sudah mulai berani berkoar koar, jika ada yang berani ngasih uang puluhan ribu, dia baru akan menggunakan hak pilihnya. Ini kenyataan. Salah satu dampak yang kurang mendidik tentunya. Cara demokratis dalam menentukan pemimpin, meskipun diyakini sebagai cara yang paling baik disisi lain membawa mudharat juga. Dengan persyaratan yang begitu mudah akhirnya tidak menghasilkan orang orang yang mempunyai kompetensi yang baik dalam mengurus kepentingan bernegara dan bermasyarakat. Suatu ketika saya berkunjung di sebuah kampung di Kec Kasihan Kabupaten Bantul. Belum lama mengadakan pilihan kepala dukuh. Sebuah kampung dengan 6 RT ketika mengadakan pemilihan dukuh (Pemimpin setingkat kampung). Ada 4 orang sebagai calon dukuhnya. Persaingan saat itu sedemikian ketat hingga terjadilah babak final karena perolehan dua kandidat berimbang. Suasana di kampung itu terlihat tegang. Kader kader saling mencurigai. Keluarga kontestan bergerilya mencari pengaruh dengan uangnya. Seratus juta rupiah ludes untuk mencari massa pendukung. Hingga akhirnya dimenangkan oleh salah satu kontestan. Salah satu dampak dari pemilihan semacam ini di tingkat kampung adalah: Renggangnya persaudaraan di kampung. Bahkan kegiatan kegiatan tingkat RT pun menjadi macet karena rasa dendam masih berkepanjangan. Saat ini sudah 6 bulan berlalu namun dampaknya masih terasa. Kaku, rasa dongkol masih begitu dominan. Memang perlu dikoreksi cara memilih pemimpin yang mumpuni meskipun hanya selevel kampung. Banyak orang menghendaki status sosial meskipun tidak mempunyai visi dan kemampuan. Sistem perlu dibenahi. Ada sebagian kecil masyarakat memilih golput karena enggan melihat saudara saudaranya saling bertempur. Dan dia beranggapan langkah tersebut sebagai langkah mulia... Tentu anda mempunyai pilihan tersendiri atas hak pilih anda. Salam hangat kompasiana...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H