Mohon tunggu...
Aji Setyawan
Aji Setyawan Mohon Tunggu... -

mahasiswa perguruan tinggi swasta UPN Yogyakarta, jurusan komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pers, “Penegak Hukum atau Pengawal”

29 Maret 2012   18:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada jaman sesudah reformasi ini, banyak berbagai permasalahan di negri ini yang tentunya mulai terkuak perlahan-lahan oleh media masa. Memang sangat positif, karena tugas pers sendiri harus memberikan publikasi untuk dapat membentuk opini publik dengan isu-isu. Tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa pers sering merasa bahwa pers lah yang paling benar, dibanding instansi penegak hukum dan pengadil hukum.

Sering kali orang yang berstatus sebagai saksi maupun yang sama sekali belum berstatus saksi, tersangka maupun terdakwa, menjadi obyek sebuah pemberitaan seolah mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab. Inilah fenomena yang sering kita lupakan.

Pemberitaan pers seperti sudah menghukum pihak yang bersebrangan dengan pihak yang dibela oleh pers. Ketika pihak yang dibela oleh pers kalah, biasanya pers langsung menuduh telah terjadi permainan atau suap sehingga pihak yang dibela pers kalah tanpa adanya bukti yang jelas. Disinilah prinsip pers dilupakan karena meninggalkan kaidah pemberitaan secara cover both side.

Biarkan hokum yang berbicara, karena semua harus melewati mekanisme dan prosedur yang ada, bukan malah menghakimi proses hokum dan menjudge dengan perspektif masing-masing media. Jangan membentuk opini masyarakat dengan sikap mengeluh karena kejadian intimidasi wartawan dilapangan. Intimidasi yang seperti apa yang dimaksud ? Intimidasi yang mungkin tercipta karena ulah wartawan sendiri yang tentunya tidak menggunakan kode etik secara benar.

Jika pemimpin kita suka mengeluh, ya jangan pers ikut mengeluh. Sekarang malah masyarakat yang “ikut-ikutan” mengeluh seperti pemimpinnya. Bakar sana, bakar sini, lempar sana, lempar sini, siapa lagi yang mengajarkan mengeluh kalau bukan dari pemimpinnya. Ingat, mengeluh tidak akan mengubah sesuatu menjadi lebih baik, malahan menjadi bertambah tidak baik.

Harusnya pers bersyukur, dengan adanya era reformasi ini wartawan bebas meliput dan mempublikasikan. Beda dengan jaman Orba yang jelas dengan gamblang mengintimidasi wartawan karena memang rezimnya melarang kuli tinta untuk berbicara di tulisannya.

Dewasalah dunia pers Indonesia. Kawal semua permasalahan negri ini dengan tulisanmu. Didiklah rakyat dengan sikap mandiri jika pemimpin hanya bisa bersikap mengeluh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun