(Atawa Keuangan yang Maha Kuasa)
Seorang sahabat membuat status di facebook dengan petikan dialog antara penumpang dan sopir taksi. Faktual atau ilustratif soal kedua. Cerita di bawah ini sudah lumrah pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Ibu A : Bagaimana mbak Pileg tempo hari?
Ibu B : Iya, di sini banyak politik uang yang bermain, uang 50 ribu ...
Ibu A : wah, kalau di Jakarta cukup uang 20 ribu saja ...
Ibu B : Kalau di Makassar, uang 20 ribu tidak ada artinya
Sopir Taksi menyela: saya saja dapat 800 ribu bu
Ibu A : Waduh ....
Sopir Taksi: Lebih besar lagi kakak saya ... kakak saya dapat satu juta, hitungannya per kepala
Ibu A : Hah .....
Dari reaksinya, ibu penumpang taksi adalah warga kota yang tidak suka “politik uang”. Sebagai pembaca, kita pun mendapat informasi nilai nominal uang yang beredar untuk satu suara pemilih. Mahal kah? Relatif. Tidak selalu sama pada setiap wilayah dan lokasi tempat pemilihan. Tinggi-rendahnya nilai transaksi mengikuti dalil ekonomi ‘supply and demand’. Semakin tinggi persaingan di suatu wilayah atau lokasi pemilihan, semakin besar nilai uang dalam suatu transaksi. Semakin tinggi penawaran (supply), semakin besar yang minta. Pada saat yang sama semakin tinggi permintaan (demand), semakin besar nilai uang yang harus siap digelontorkan. Mengapa? Karena satu suara rakyat akan menentukan hasil dari suatu persaingan – one man one vote!.
Kita seringkali menyebut bahwa demokrasi itu ‘mahal’, saudara. Tidak salah. Mahal dalam arti kualitas sekaligus kuantitas. Sejak dahulu dan dimana pun praktik demokrasi memerlukan sumberdaya sosial, ekonomi, pengetahuan dan kelembagaan yang besar.
Dalam sistim demokrasi, rakyat yang berdaulat adalah penentu. Bahkan para penganjur demokrasi sejak dahulu memuji rakyat dengan ungkapan “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Satu suaranya sangat menentukan sistim pemerintahan. Kandidat atau caleg menjadi figur yang mewakili kepentingan masyarakat. Adapun partai politik hanyalah mesin pendidikan dan pengorganisasian sumberdaya politik. Sementara pemerintah dan penyelenggara pemilu mengelola, mengatur dan mengawasi kontestan pemilu agar berjalan sesuai tahapan dan terlaksana secara demokratis. Demikianlah idealnya faham tentang demokrasi.
Dalam pendekatan politik transaksional, semua kontestan atau kandidat menghitung ongkos politiknya (political-cost) berdasar populasi pemilih dan perangkat yang menyertainya. Ini benar, karena sulit menghitung nilai kapital dari suatu kesadaran dan partisipasi politik. Kerja politik akhirnya harus kalkulatif dengan harapan aspek-aspek substantif tercakup di dalamnya. Aspek substantif yang dimaksud antara lain kemampuan rakyat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional (tidak emosional), peningkatan partisipasi (bukan mobilisasi), dan daya kontrol. Usaha-usaha mewujudkannya disebut kerja sosial berupa pendidikan politik rakyat (political voters education).
Pemilih Cerdas dan Relawan Demokrasi yang menjadi jargon pileg tahun ini adalah pengandaian dari keberhasilan proses pendidikan politik. Betapa beratnya beban rakyat menyandang sebutan pemilih cerdas. Mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai praktik agitasi, propaganda, iming-iming bercampur dengan sembako, uang, material, dan status sosial di bawah tekanan penguasa. Tingkat keberhasilannya baru saja diuji. Rakyat dengan segala bentuk kecerdasannya itu telah menentukan pilihannya sendiri. Siapa pun yang terpilih dan menang, jelas itu pilihan mayoritas rakyat.
Tidak apa lah kita berkesimpulan bahwa sekalipun nilai satu suara 800 ribu hingga 1 juta rupiah seperti pada ilustrasi di atas, tetap saja tidak sebanding dengan makna kedaulatan rakyat. Memang terjadi pemerosotan makna suara rakyat oleh politik uang hari ini. Pada saat yang sama, kita juga harus mengakui belum bisa berbuat banyak untuk meningkatkan atau setidaknya mengembalikan makna kedaulatan rakyat. Bahkan kebanyakan kaum cerdik-pandai hanya berpangku tangan, membiarkan kejahatan politik pemilu merajalela di depan matanya. Kata orang bijak, kejahatan merajalela lantaran orang baik tidak melakukan apa-apa. Celakalah orang-orang yang berharap perubahan akan terjadi dengan sendirinya.
Demokrasi itu semakin mahal di dalam konstruksi sosial-politik yang kapitalistik dan oligarkis. Era politik adalah panglima sudah lama berubah menjadi uang adalah panglima kekuasaan. Masyarakat akar rumput pun sudah terbiasa memplesetkan sila pertama Pancasila dengan kalimat “Keuangan yang Maha Kuasa”. Bukan kah situasi ini sudah lama kita sadari. Jadi, marilah bekerja lebih giat lagi. (07/05/2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H