Rampi adalah salah satu dari tiga  kecamatan terjauh dan terisolir di Luwu Utara, Jarak dari ibukota kabupaten Masamba ke Rampi kira-kira 86 km. Hanya dua sarana transportasi untuk menjangkau Rampi dari Masamba, lewat jalur udara dengan pesawat perintis dan jalur darat menggunakan ojek. Konon ojek termahal di Indonesia ada di Luwu Utara, untuk Rampi tarifnya Rp800 ribu.
Bahagia rasanya mendapat kesempatan berkunjung ke SMAN 15 Luwu Utara (SMAN 1 Rampi) mengikuti pengawas pembinanya bp Syawaluddin. Jam 6 pagi kami bersiap menunggu pemberangkatan menggunakan pesawat Susi Air. Perjalanan dengan 11 seat ditempuh selama 20 menit diatas hamparan hutan gunung. Sempat rasa khawatir ada saat pesawat kecil kami melintasi lautan awan. "Saya sempat tegang tadi, tapi setelah melihat pilotnya yang profesional ketegangan itu hilang", ujar kolega saya pak Syawal sambil melirik pilot bule didepannya setelah pesawat landing.
Akhirnya kami tiba di Onondowa ibukota Kecamatan Rampi. Daerah sebelah utara Rampi berbatasan dengan Sulawesi Tengah ini, iklimnya dingin-sejuk. Pak Camat yang mengetahui kedatangan kami menawarkan untuk tinggal di mess pemda yang berada tidak jauh dari bandara, tapi perjalanan kami lanjutkan setelah menunggu jemputan motor (yang sudah dimodifikasi) ke SMAN 15 Luwu Utara.
img20171207094753-5a2e4d2ef1334464cd1e7f13.jpg
Memasuki halaman sekolah, kami disambut oleh wajah-wajah polos anak didik kami. Saya melihat jam HP menunjukkan pukul 6.30. "Kenapa kita berangkat pukul 7.00 wita dan sekarang pukul 6.30 wita ?", tanyaku keheranan. "Memang begitu pak jam HP langsung berubah mundur sejam kalau tiba di Rampi", kata rekan guru. "Unik juga daerah ini", gumamku dalam hati sambil melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 7.30 wita.
Lonceng bekas onderdil motor yang tergantung di depan kantor dipukul berulang, tandanya ujian semester akan dimulai. Setelah bertemu dengan kepala sekolah, kamipun melakukan monitoring pelaksanaan penilaian akhir semester. Anak-anak mulai menjawab soal yang telah dibagikan, pandanganku tertuju pada beberapa siswa yang duduk bertiga dalam dua meja, hal yang sama juga terlihat pada ruang kelas yang lain. Pengawas ruang menulis berita acara/ absen dengan posisi berdiri karena kuarangnya bangku. Rupanya ketersediaan sarana prasarana yang memang terbatas, miris melihat keadaan demikian.
Saat ujian siswa selesai, kami bertatap muka dengan pendidik & tenaga kependidikan. Pak Syawal sebagai pengawas satuan
pendidikan memberikan motivasi dan menyampaikan beberapa hal penting. Bimbingan tentang penilaian hasil belajar yang sudah kami siapkan menggunakan media LCD batal kami lakukan karena perangkatnya dan listrik tidak ada. Aliran listrik sudah beberapa minggu padam setelah bendungan turbin plta diterjang banjir. Jadilah komunikasi dan bimbingan dilakukan apa adanya. Sesi tanya jawab banyak diwarnai kegalauan guru akan motivasi siswa untuk bersekolah dan kurangnya sapras maupun tenaga pendidik. Selain kepala sekolah, hanya ada 4 orang guru PNS yang ada, selebihnya adalah guru honorer.
Ketika tanda senja di ufuk terlihat, ditemani kopi dan jagung rebus kusaksikan indahnya mentari perlahan tenggelam dibalik pegunungan. Samar terdengar suara angin berhembus tanda malam akan tiba. Saat itu kepala sekolah kembali menawarkan untuk hijrah ke mess pemda. "Biarlah kita sama disini merasakan kegelapan, sedikit duka yang telah bapak alami", demikian jawab kolega saya.
Malam hari bincang lepas kami dengan kepala sekolah dan beberapa staf honor barlanjut lagi. Kadang diselingi tawa canda, mendengar cerita upaya menyiasati kehabisan bekal (beras/lauk) mereka. Malam semakin larut, cahaya senter led tenaga surya dekat kami semakin redup. Kamipun bergegas ke tempat istirahat. Saya memilih salah satu ruang di kantor (ruang BK) sebagai tempat tidur dengan terlebih dahulu menyusun 6 meja dan memberikan matras sekolah. Selanjutnya hujan.., hening.., sepi..., dan tentu gelap, "Beginilah yang selalu dirasakan oleh saudaraku guru yang bertugas di daerah terpencil", gumamku.
Udara pagi dingin menusuk, kunikmati sejuknya embun pagi sampai mentari menampakkan sinarnya meresap dan menghangatkan tubuh. Bendera merah putih sekolah mulai berkibar walau dari tiang bambu yang berdiri (tidak) tegak lagi. Anak sekolahpun mulai berdatangan, sebagian besar berjalan menyusuri jalan desa sisanya mengendarai kendaraan motor modifikasi dari desa tetangga yang jaraknya cukup jauh.
Setelah sarapan dengan nasi dari beras kamba (varietas padi unggul lokal) + sayur bening minus pestisida, kamipun mulai berkemas untuk kembali. Kepala sekolah dan 3 orang guru pun bersiap. Tetapi yang pasti semuanya tidak mandi pagi, karena semalam aliran air terhenti karena pipanya tersumbat akibat hujan/banjir.
Terima kasih saudaraku pahlawan pendidikan yang bertugas di garis tertinggi, dedikasimu luar biasa. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada kami untuk merasakan sedikit dukamu. Tegak dan berkibarlah terus merah putih, meskipun tiangmu adalah bambu belantara..
Lihat Humaniora Selengkapnya