Tulisan Ini merupakan obrolan antara saya dan salah seorang teman di Leiden Belanda ketika saya memposting gambar rutinitas penderes (pengrajin gula kelapa) sekitar sebulan yang lalu di jejaring Facebook. Kegiatan yang merupakan mata pencaharian utama di daerah kami ini (Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah) sekarang sudah jarang dilakukan. Mereka lebih memilih menjadi buruh di kota-kota besar ketimbang harus melakoni profesi yang sudah turun temurun dilakukan oleh nenek moyang mereka. Hal ini terpaksa mereka lakukan karena profesi sebagai penderes tidak lagi dapat dijadikan sandaran hidup. Ya.. walaupun ada juga yang masih tetap bertahan.
[caption id="attachment_271504" align="alignleft" width="300" caption="pongkor dan sabit merupakan alat utama dalam pengambilan nira"][/caption]
Teman:
Kang, profesi ini sudah mulai banyak ditinggalkan masyarakat Cilongok. mereka lebih banyak memilih untuk pergi ke kota2 besar dan menjadi buruh2 bangunan, buruh pabrik dan tenaga rumah tangga. Salah satu dampak negatif industrialisasi dan juga ketidakbecusan pemerintah memperhatikan nasib ekonomi pelaku sektor ini. Prihatin
Saya:
Bener banget,, tapi memang mereka tidak bisa disalahkan seratus persen, karena dengan menjadi penderes kebutuhan primer mereka sulit terpenuhi. Apalagi dengan biaya pendidikan, kesehatan, dan tetek bengek yang semakin hari semakin membubung. Prihatin,,,
Teman:
Mereka memang tidak salah, yang salah itu pihak yang punya wewenang mengatur harga gula (yang menjadi sandaran hidup para penderes) dan menjaga stabilitasnya. Maksudnya harga gula harus rasional untuk bisa mencukupi (atau paling tidak secara signifikan bisa menambah pendapatan bagi yang profesi utamanya adalah petani sawah) kebutuhan dasar yang juga ditentukan oleh pemerintah seperti harga sembako, biaya pendidikan, kesehatan dll. Maksudnya pemerintah daerahpun sebenarnya mampu memperbaiki nasib mereka, karena aku pernah baca di sebuah hasil riset bahwa Cilongok adalah produsen gula jawa yang cukup besar lho….
[caption id="attachment_271508" align="alignright" width="300" caption="pengambilan nira dilakukan secara rutin dua kali dalam sehari"][/caption]
Saya:
Sejauh ini, usaha pemerintah dalam menaikkan taraf hidup para penderes baru sebatas wacana. Janji-janji yang dilontarkan juga sebatas janji. Harga gula masih di pegang para cukong. Pendirian koperasi dalam rangka menyetabilkan harga dan memperbaiki taraf hidup mereka ternyata tidak berhasil, karena harga penjualan ke cukong lebih tinggi dibandingkan dengan menjualnya ke koperasi, walau dengan resiko pada saat-saat tertentu harga bisa turun drastis.
Sekitar setahun yang lalu ada usulan untuk pemberian santunan bagi penderes yang mengalami kecelakaan diwaktu menderes, baik yang luka ringan, luka berat, cacat seumur hidup atau meninggal, dan alhamdulillah dapat di setujui. Akan tetapi yang jadi pertanyaan: "Apakah itu dapat berlangsung seterusnya?".
Cilongok merupakan produsen gula jawa yang cukup besar, akan tetapi gula jawa dari Cilongok tidak dapat menembus pasar nasional, paling banter antar daerah dalam satu propinsi, itupun dengan memberi label "gula Wangon", karena gula Cilongok sudah terlanjur punya citra jelek. Hal itu sebenarnya kesalahan oknum produsen yang biasanya memasukan ampas, munthul dsb pada waktu pengolahan ketika harga gula sedang tinggi. Akhirnya gula Cilongok hanya mampu didistribusikan ke pabrik2 kecap.
Teman:
Iya.. aku lihat sendiri di desaku bagaimana cukong-cukong lokal itu bisa mempermainkan harga dengan enaknya. Adakah semacam LSM atau pendamping petani gula di Cilongok? NU juga seharusnya ikut berperan memperjuangkan nasib mereka karena sepertinya sebagian besar dari mereka kan warga Nahdliyyin juga. kalau penderes tidak didampingi dan mereka berjuang sendiri sepertinya tidak akan ada perubahan berarti.
wah ngeri juga kalo membayangkan masa depan Cilongok, wit2 klapa ditegori didol nggo gawe penglari, otomatis ora bisa nderes maning, akhire mending pada ngode dadi buruh lan kuli neng Jakarta. Pirang taun maning wit klapa arep langka. padahal sekolah lan cita-cita dadi pegawai pun mahal dan susah. [caption id="attachment_271510" align="aligncenter" width="300" caption="proses ahir pembuatan gula kelapa, yaitu dengan mencetaknya dalam tabung bambu."][/caption]
Saya:
Masalah ini kayaknya sebuah masalah yang kelihatannya sudah tidak dipermasalahkan lagi, ibarate wis ndadrah. Sudah terlanjur mendarah daging dan ahirnya oleh lembaga2 yang seharusnya menangani belum atau tidak mau menangani (semoga hal ini hanya persangkaanku saja).
NU? bukan seharusnya lg bg NU, tapi ...FARIDOH bagi NU untuk berperan serta memperjuangkan nasib mereka, karena sebagian besar dari mereka memang warga NU dan NU yang notabenenya lembaga sosial kemasyarakatan bertanggung jawab atas semboyan Kaada al faqru an yakuna kufron, tapi lagi2 belum pernah kita dengar dan rasakan sumabangsih darinya. Selama ini mereka diakui sebagai warga NU sebatas dalam perekrutan suara dalam pilpres, pileg, pilgub, pilbup dan pil-pil lain, setelah itu habis manis sepah dibuang. Mereka selalu dan selalu Di bodohi oleh yang terhormat para calon anggota dewan dan calon pejabat.Tragisssssss!!!!! eh,, dadi ngrasani,, kayane angger kon ngrasani sedina urung rampung, he..he..he..
Dan Faridoh nya dobel bagi anggota legislative yang selalu menebarkan janji-janji manis kepada para penderes, janji ini dan itu. Sayangnya setelah meraup suara besar dari para penderes, mereka juga seakan terbuai dengan kursi empuknya.
pokoke wallohu a'lam....... entah bagiamana nasib mereka, nasib kita juga, orang-orang yang menyandarkan hidup dari gula kelapa [caption id="attachment_271512" align="alignright" width="300" caption="Proses Awal pembuatan gula kelapa. Nira dimasukan dalam Wajan besar dan diberi pengapian selam7-8 jam."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H