Mohon tunggu...
Oji Ijo
Oji Ijo Mohon Tunggu... -

Orang awam yang bosan dengan berita naiknya harga sembako, kekerasan, tawuran, perampokan, penculikan, dll dll, terlebih dengan omongan ngaconya anggota2 *ewan seperti Bamsat, Naziz, dan temen-temennya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teh Manis Buatan Ibu

22 Desember 2011   00:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badannya tidak setegap 30 tahun lalu. Kecantikannya telah memudar, meski masih ada bekas di wajahnya. Uban nampak dominan menghiasi kepala, meski satu dua masih terselip rambut hitamnya. Dengan gerakan yang tidak cekatan lagi, dia menuangkan air dari termos ke poci yang telah diisi teh sebelumnya, lantas menuangkannya ke dalam gelas bergula putih. Dan dengan tangan yang sedikit gemetar, dia membawa teh siap saji ke mejaku.

Itulah Ibu. Berapa kali aku larang untuk membuatkan teh manis panas buatku, tetap saja beliau tidak perduli. Kadang muncul perasaan dongkol karena beliau memaksakan diri. Bukan tidak suka dengan teh manisnya. Jujur saja, teh manis buatan ibu buatku merupakan minuman paling lezat. Aku sering melarangnya karena takut tangannya tidak kuat lagi mengangkat termos berisi air panas. Siapa bisa menjamin kalo air panas tidak akan tumpah dan mengenai tangannya hingga membuatnya melepuh? Tiap kali aku larang, Ibu seolah tidak mendengarnya atau pura-pura lupa kalau aku pernah menegurnya.

Ah Ibu, kenapa Engkau selalu memaksakan diri membuatkan teh manis panas buatku di pagi hari saat aku pulang ke rumahmu? Pertanyaan ini beberapa kali terngiang dalam benakku, hingga suatu hari aku melihat beliau memandang sebuah foto. Foto dengan bingkai melengkung ini adalah foto kesayangan adik bungsuku. Nampak dalam foto, Ibu dan almarhum Bapak mengapit adikku yang baru diwisuda. Aku perhatikan, Ibu begitu lekat menatap foto itu. Tak ada gurat kesedihan, tapi aku menangkap rasa kehilangan yang begitu besar dalam sorot matanya.

Puluhan tahun Ibu berjuang bersama Bapak membesarkan sepuluh anaknya. Selama puluhan tahun itu, hampir tidak pernah ada persoalan besar di antara Bapak dan Ibu. Meski Ibu juga bekerja, beliau tidak pernah melupakan tugasnya sebagai istri bapak dan ibu bagi anak-anaknya. Bahkan ketika di akhir hidupnya Bapak sakit, Ibu selalu menemani Bapak dan begadang di malam hari hingga pagi menjelang.

Tak kuasa aku melihat Ibu menatap foto itu. Segera kuminum teh panas buatan Ibu. Lalu pikiranku pun mengembara ke masa 25 tahun lalu, saat Ibu membuatkan teh buat Bapak. Dengan sigap Ibu menuangkan air panas dari termos ke poci yang telah diisi teh sebelumnya, lantas menuangkannya ke dalam gelas bergula batu. Dan dengan cekatan, dia membawa teh siap saji ke meja Bapak. Setelah beberapa teguk diminumnya, Bapak segera berangkat kerja. Ibu hanya tersenyum dengan senyum yang paling manis.

Peristiwa rutin di pagi hari 25 tahun lalu itu hingga kini terus membekas buatku. Segera saja dadaku sesak karena menahan kerinduan pada Bapak. Dan agaknya itu juga yang kini dirasakan Ibu. Hari-harinya kini lebih sepi semenjak Bapak pergi menghadap Allah. Dan barangkali untuk membunuh rasa sepinya itu, Ibu selalu membuatkan teh manis panas buatku di pagi hari.

(Do'aku buatmu, Ibu. Maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia, seperti yang telah dilakukan Bapak buatmu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun