Perjalanan kembali ke tempat kerja setelah beberapa hari pulang kampung, senantiasa membawa rasa yang tidak mengenakan. Ada rasa capek, malas, merasa belum puas menghabiskan waktu di kampung halaman, dan yang lebih menyiksa lagi adalah membayangkan hari-hari yang bakal dilalui tanpa dikelilingi orang-orang terkasih. Sungguh, andai mencari nafkah itu tidak wajib hukumnya, rasanya jauh menyenangkan menikmati slogan 'mangan ora mangan sing penting kumpul'.
Kapal penyeberangan Merak-Bakauheni...
Inilah kapal yang telah bertahun-tahun setia mengangkut aku saat hendak mudik atau kembali ke tempat kerja. Saat rute pelayaran dari Bakauheni menuju Merak, rasanya segalanya begitu indah. Mengapa? Karena inilah perjalanan yang akan mempertemukan aku dengan orang-orang tercintaku. Sebaliknya, saat kapal menuju arah sebaliknya, inilah perjalanan yang menurutku begitu menyiksa. Namun apa hendak dikata, di seberang pulaulah pekerjaan menantiku. Orang bijak bilang, selama kaki masih berpijak di bumi Allah, maka rejeki harus kamu sambut.
Kini telah delapan tahun aku hidup di negeri orang. Puluhan kali Selat Sunda telah aku seberangi. Berbagai nama kapal aku sudah tahu, lengkap dengan fasilitasnya. Ada yang menyediakan ruang tidur lesehan, ada yang menyediakan TV kabel, dan yang baru 3-4 tahunan ini hadir adalah live music atau tepatnya organ tunggal.
Yah, organ tunggal. Yang satu ini bisa disebut hiburan, bisa juga disebut kebisingan. Biasanya organ tunggal terbagi menjadi dua group, organ tunggal pop dan dangdut. Untuk kelas ekonomi atau bisnis, lagu yang dibawakan adalah lagu dangdut. Sedangkan untuk kelas bisnis plus (kalau disebut eksekutif rasanya kurang pas), lagu-lagu yang dibawakan biasanya lagu pop. Atau kalau di kapal hanya ada satu jenis organ tunggal, maka dapat dipastikan organ tunggal ini adalah organ tunggal dengan lagu-lagu dangdut.
Biasanya aku lebih memilih kelas yang ada hiburan organ tunggal musik pop (syukur-syukur nggak ada, biar bisa tidur). Kadang sesekali ikutan nyanyi. Sebisa mungkin menghindari organ tunggal dangdut. Bukan tidak suka musik dangdut. Tetapi rasanya kuping tidak biasa mendengar bunyi gedebak-gedebuk yang terlalu keras, apalagi kalau musik dangdutnya dibikin remix. Dijamin badan yang capek bakal bertambah capek. Satu-satunya yang menghibur dan bikin geli adalah style abang-abang yang doyan nyawer. Mereka begitu fasih bergoyang, tak lupa duit hasil kerja mereka begitu gampang dihamburkan.
Pada satu kesempatan perjalanan, aku harus menikamati sajian organ tunggal dangdut. Alih-alih merutuk dalam hati karena mata tidak bisa terpejam, kaki justru ikut-ikutan mengetuk-ngetuk lantai tanda menikmati harmoni lagu. Kali ini dangdutnya beda. Sang biduan punya suara bagus, musiknya pun dangdut slow. Dan kalau dilihat dari wajahnya, rasanya dia lebih pantas untuk berlenggak-lenggok di atas catwalk daripada hanya berdiri di atas panggung organ tunggal. Ketika kapal hendak merapat, dia sudahi pertunjukannya. Kebetulan dia beristirahat di kursi kosong sebelahku. Percakapan ringan pun terjadi di antara kami.
Sungguh, percakapan ringan itu pada akhirnya membuka cakrawala berpikirku. Dia yang seorang janda, harus banting tulang demi menghidupi kedua buah hatinya. Demi penghasilan yang tidak seberapa, dia rela menarik urat leher sampai terkadang suaranya habis. Dan yang paling membuatku kagum adalah tasnya yang terisi dengan mukenah. Ketika aku tanya apakah dia selalu membawa mukenah, dia hanya menjawab pendek, "insya allah".
Akhirnya kapal bersandar. Seluruh penumpang berebut turun. Sebelum naik bus dan melanjutkan perjalanan, aku masih terngiang dengan ucapannya. "Mas, bagaimanapun, kalau kita ikhlas dan bersyukur, hidup akan terasa lebih ringan". Kalimat yang sudah teramat sering aku dengar, tetapi rasanya kali ini begitu menyentuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H