Rivalitas Jokowi dan Anies Baswedan menjadi sorotan media asing. Sejauh apa media asing mengamati relasi keduanya?
Relasi Presiden RI dan Gubernur DKI Jakarta, secara struktural adalah manifestasi dari koordinasi kerja antara pusat dan daerah. Mau dikatakan adanya persaingan diantar keduanya, persaingan untuk apa?
Justeru bukan rivalitas yang terlihat secara mengemuka, tapi kemampuan Anies memanfaatkan situasi, yang menjadi kelemahan Presiden Jokowi dimasa penanganan covid-19.
Bagaimana bisa diterjemahkan sebagai rivalitas, kalau keduanya tidak dalam kondisi bersaing untuk merebut sebuah posisi? Anies mungkin saja punya kepentingan mengejar Kursi RI 1, sementara Jokowi secara konstitusional tidak bisa maju lagi.
Dilansir Republika.co.id, Majalah terkemuka terbitan Inggris, The Economist pada edisi terbaru mengulas tentang rivalitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Ibu Kota dan Indonesia.Â
Bahkan, majalah berpengaruh ini mengangkat judul 'Presiden Indonesia Punya Saingan Baru'.
Kalau The Ekonomist menganggap Anies faham bagaimana cara mengeksploitasi kelemahan Jokowi, pendapat ini bisa dibenarkan, karena pada kenyataannya adalah demikian.
Ketika pemerintah pusat terlambat mengantisipasi penyebaran pandemi covid-19, dan pada kenyataannya susah ada dua korban terkonfirmasi positif covid-19, dengan entengnya Anies mengeluarkan pernyataan tentang data hasil pemantauan pemprov DKI Jakarta.
Anies ingin mengatakan pemprov DKI Jakarta selalu lebih dulu dari pemerintah pusat. Seringnya berbenturan dalam hal kebijakan dalam penanganan covid-19, antara pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta, sehingga dipersepsikan terjadi rivalitas antara Jokowi dan Anies.
Ketika Pemprov DKI Jakarta merasa dihambat berbagai kebijakannya dalam penanganan darurat covid-19, Anies beranggapan pemerintah pusat terlalu prosedural dan birokratis,
Anies Baswedan pun dengan lantang menyampaikan kritikannya. "(Itu) seolah-olah kami mengusulkan proyek yang membutuhkan studi kelayakan," ucapnya kepada The Jakarta Post, seperti dikutip dari The Economist.
Adanya persepsi rivalitas antara Jokowi dan Anies, sangat menguntungkan Anies, yang nota bene adalah seorang kandidat Presiden, sehingga muncullah persepsi terhadap Anies yang lebih Presiden dari Presiden.
Kalau dibilang Presiden Indonesia Punya Saingan Baru, seperti yang dikatakan The Economist, ya wajar-wajar saja. Konstruksi pemikiran kearah sana memang sudah dibangun sedemikian rupa, untuk kepentingan elektoral Anies menuju Pilpres 2024.
Namun sebetulnya saingan Anies bukanlah Presiden Jokowi, saingan Anies tetaplah calon Presiden 2024. Presiden Jokowi hanya menjadi 'bantalan' bagi Anies untuk menaikkan reputasinya, dengan mengeksploitasi kelemahan Presiden Jokowi.
Anies tidak ingin memakai istilah 'New Normal' yang dipakai Presiden Jokowi, dia membuat istilah sendiri dengan PSBB transisi, itulah makanya dia tetap memperpanjang PSBB di DKI Jakarta, dan Jokowi sudah antisisipasi tidak menerapkan New Normal di DKI Jakarta terlebih dahulu.
Memang ada kesan Presiden Jokowi agak hati-hati menghadapi Anies, bahkan ada kecenderungan untuk menghindari. Bisa dibayangkan kalau new normal diterapkan di Jakarta terlebih dahulu, tiba-tiba Anies masih terus memperpanjang PSBB, maka akan menampar muka Presiden Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H