Diminta membangun smelter saja susah banget, banyak sekali alasannya. Terkurung maunya diluar, terhimpit maunya diatas, pokoknya gak mau rugi, maunya untung terus. Sangat wajar kalau pemerintah harus bersikap tegas.
Dari sini sebagai bangsa, kita merasa mempunyai harga diri, tidak ingin diatur oleh negara-negara yang punya kepentingan terhadap SDA yang kita miliki. Mereka begitu cemburu karena Indonesia lebih merangkul Tiongkok.
Tentunya ada alasan yang sangat logis kenapa Indonesia lebih merangkul Tiongkok, dan jelas ini adalah bagian dari strategi dan policy pemerintah Indonesia, untuk menciptakan bargaining position, dalam geopolitik, dan geostrategis.
Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia yang baru, secara penguasaan tekhnologi dan sumber daya manusia sangat mumpuni. Sebagai investor, Tiongkok terbilang konsekwen dengan kontrak kerjasama.
Begitu pemerintah meminta membangun smelter di kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, langsung dipenuhi. Bahkan pembangunan infrastruktur di Morowali pun tidak setengah-setengah.
Masih dari Kompas.com, saat ini Indonesia termasuk negara penghasil Nikel terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi Vale Indonesia yang mengutip Data US Geological Survey menyebutkan, dari 80 juta metrik ton cadangan nikel dunia, hampir 4 juta metrik ton tersimpan di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dunia dengan deposit nikel terbesar di dunia.
Inilah yang membuat Indonesia menjadi incaran banyak negara didunia. Namun Jokowi rupanya lebih memprioritaskan negara yang di Asia, khususnya Tiongkok, karena Tiongkok termasuk negara yang konsumsi Nikelnya terbesar di dunia. Tiongkok pada 2017 mencapai 72 persen dari konsumsi nikel dunia.
Indonesia punya pengalaman buruk dalam hal kerjasama dengan pihak asing, seperti kerjasama dengan Freeport, dimana Indonesia berada pada posisi yang merugi selama puluhan tahun.
Tentunya hal yang serupa tidak perlu terulang kembali. Lewat Industri pertambangan Nikel, seharusnya bisa menaikkan "posisi tawar" Indonesia di mata asing-aseng. Tidak perlu terulang lagi kekayaan SDA nya dikeruk, sementara negara dan bangsanya tetap miskin.
Kalau kita melihat tingginya sentimen terhadap Tiongkok, dan isu etnis yang kembali merebak dalam perpolitikan Indonesia saat ini, bisa jadi merupakan upaya proxy negara-negara yang terganggu kepentingannya karena kebijakan pemerintah Indonesia.
Melihat situasi politik akhir-akhir ini, saya jadi terkenang pembicaraan dengan Profesor Darsono saat di Mekah Al Mukaramah. Berbagai sinyalemen yang disampaikannya 9 tahun yang lalu, hampir mendekati kebenaran.