Persinggungan antara Najwa Shihab dan anggota DPR, memperlihatkan inkonsistensi anggota DPR terhadap kritik. Ibarat mau mencubit, tapi tidak mau dicubit.
Reaksi yang diperlihatkan Arteria Dahlan terhadap kritik yang dilayangkan Najwa Shihab, tentang sikap dan perilaku anggota dewan, dalam situasi negara menghadapi wabah covid-19, merefleksikan keegoisan anggota DPR terhadap kritik.
Dalam kesempatan lain, kadang secara terang-terangan menolak sikap pejabat pemerintah yang anti kritik, karena mereka menganggap kritik adalah bagian dari dinamika berdemokrasi yang tidak bisa dinafikan.
Tapi ketika kritik mengarah kepada mereka, serta merta ditolak, seakan-akan kritik menyudutkan dan membuka aib mereka, sehingga siapa pun yang mengkritik sikap dan perilaku mereka, maka bersiaplah untuk dibuka juga aibnya.
Inilah yang sedang dihadapi Najwa Shihab, setelah mengkritik DPR dalam sebuah video, yang menyentil perilaku anggota DPR dimasa perang semesta menghadapi penyebaran wabah covid-19.
Benarkah DPR tanpa cacat dan tidak boleh disalahkan? Apakah sentilan yang dilayangkan Najwa tersebut sudah membuka aib para anggota DPR? Sehingga perlu mengancam untuk membuka aib Najwa Shihab.
Inkonsistensi anggota DPR ini sama dengan Pemrov DKI Jakarta, dalam berbagi tanggung jawab dengan pemerintah pusat menyangkut bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan miskin diwilayah DKI Jakarta.
Pada awalnya Anies Baswedan (Abas) meminta dukungan pada pemerintah pusat, dalam penanganan jaringan pengamanan sosial, selama pandemi corona di wilayah DKI Jakarta.
Dalam pengamatan Abas, ada 3,7 juta jiwa warga miskin dan rentan miskin di wilayah DKI Jakarta. Abas akan memberikan bantuan sosial 1 juta rupiah perorang, maka untuk kebutuhan tersebut, Abas memerlukan dukungan pemerintah pusat.
Permintaan Abas tersebut disambut baik oleh pemerintah pusat, disepakati bahwa 2,6 juta jiwa menjadi tanggung jawan pemerintah pusat, dan 1,1 jiwa sisanya menjadi tanggung jawab Pemrov DKI Jakarta.