Begitu lepas dari jaman itu, seketika semua berubah, demokrasi kebablasan, kebebasan berpendapat atas nama demokrasi menjadi sesuka hati tanpa aturan.
Kesenjangan antara Orde Baru dan Reformasi begitu terasa, bagi orang-orang yang terbiasa hidup dari belas  kasihan pemerintah. Sama sekali tidak merasa pernah dibungkam kemerdekaannya, hak-hak konstitusinya dikebiri, dia tidak pernah mengerti.
Betapa tidak enaknya menjadi Presiden setelah Orde Baru, begitu mudah untuk disingkirkan, semua telunjuk begitu mudah diarahkan ke muka seorang Presiden, yang tidak terjadi dimasa Orde Baru.
Siapa saja bisa dengan bebas mencaci-maki Presiden, bahkan rakyat jelata sekalipun. Dan tidak satupun dari mereka yang dihilangkan nyawanya karena menghina Presiden, sehingga menghina dan mencaci-maki Presiden dianggap hal yang biasa.
Anggota parlemen bisa bersuara lantang di era reformasi, padahal di era orde baru selalu satu suara dengan pemerintah, bahkan legislatif tidak sejajar dengan eksekutif, legislatif tunduk pada eksekutif.
Ada yang memimpikan kembali ke zaman seperti itu? Dimana semua harus satu suara dengan penguasa, rakyat tidak perlu berpendapat, cukup patuh pada pemerintah, dan terima saja apa yang diberikan pemerintah, tanpa ada protes.
Seperti sekarang inilah keadaan negara kita sesungguhnya, yang sedang berusaha mencapai apa yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, tanpa merekayasa keadaan seoalah-olah sejahtera.
Kalau saja 60 tahun pertama paskakemerdekaan negara ini dikelola dengan benar, kita sudah sejajar dengan bangsa dan negara lainnya di dunia. Kita tidak kekurangan orang pintar, hanya saja kita tidak banyak orang jujur.
Sekarang negara ini sangat gaduh, karena terlalu banyak orang pintar, sehingga semua bersuara dengan kepintarannya, tidak ada lagi yang menjadi pendengar, sehingga tidak ada yang tahu bagaimana solusinya. Semua yang pintar cuma bisa menyalahkan, tanpa memberikan solusinya.
Mungkin kita harus dipimpin oleh seorang yang otoriter, sehingga kita baru bisa merasakan betapa berharganya kebebasan berpendapat, dan kita bisa menghargai seorang pemimpin yang tangannya begitu terbuka untuk memeluk rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H