Salah besar kalau menyematkan Anies Baswedan sebagai 'Gebernur Terbodoh', seperti berbagai tagar yang berseliweran di twitter hampir setiap hari.Â
Kenapa saya bilang salah besar, karena pada kenyataannya Anies sangat cerdik dalam menciptakan berbagai kontroversi yang memang sepintas memperlihatkan kelemahannya. Namun, kalau diteliti lebih jauh, justeru terlihat sangat cerdik dalam memanfaatkan situasi.
Seorang Abu Nawas, sepintas memang perilakunya terlihat sangat bodoh dan konyol. Tapi, pada kenyataannya dia selalu berhasil memperdaya orang lain dengan kecerdikannya, begitu juga dengan Anies.
Bagi Anies, berbagai kontroversi yang dilakukannya adalah bagian dari investasi elektoralnya untuk menghadapi Pilpres 2024. Selalu menjadi pembicaraan publik dan media, adalah bagian dari strateginya untuk menaikkan 'branding' sebagai Calon Presiden yang populer. Meskipun saat ini terlihat lebih banyak negatifnya.
Kontroversi soal revitalisasi Monas yang pada awalnya terkesan melanggar aturan, karena tanpa sepengetahuan Setneg. Pada akhirnya Setneg mempersilahkan Pemprov DKI Jakarta melanjutkan revitalisasi Monas, meskipun dengan berbagai catatan.
Kontroversi izin penyelenggaraan Formula E, yang pada awalnya Setneg begitu garang menolak penyelenggaraannya di wilayah Monas, pada akhirnya Setneg juga memberikan izin kepada Anies untuk tetap diadakan diwilayah Monas.
DPRD DKI yang pada awalnya terlihat begitu garang, sekarang pun tidak berkutik menghadapi Anies Baswedan. Selalu ada cara Anies untuk menghadapi orang-orang yang akan menghambat kerjanya. Bagi Anies, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Kontroversi soal normalisasi dan naturalisasi kali ciliwung, dengan cerdik Anies bisa melepaskan pelaksanaan proyek penanggulangan banjir Jakarta kepada Pemerintah pusat. Meskipun sepintas terkesan penanggulangan banjir Jakarta diambil alih pemerintah pusat. Tapi secara beban dan tanggung jawab, sangat mengurangi porsi pemprov DKI Jakarta secara tidak langsung.
Dengan mengubah berbagai diksi yang umum dipakai oleh pendahulunya, Anies mengubah imej-nya bukan sebagai pengekor. Kalau rumah susun itu diksi lama, maka Anies cukup mengubahnya menjadi 'rumah lapis', meskipun perwujudannya tetap sama.
Diksi 'menggusur' cukup diubah Anies dengan 'menggeser', agar tidak terkesan ekstrim, meskipun pada eksekusinya tetap sama. Tapi, setidaknya Anies tidak mengekor pendahulunya. Itulah kenapa Anies tidak ingin adanya Normalisasi, karena normalisasi adalah produk pendahulunya, kalau Anies cenderung naturalisasi.
Berbeda dahulu dan menjadi kontroversi, adalah sesuatu yang begitu memiliki nilai tersendiri bagi Anies. Soal bagaimana eksekusinya, itu soal lain.
Coba lihat, seberapa kuat publik meributkan soal penebangan pohon pada revitalisasi monas? Anies sudah tahu kalau kasak-kusuk soal itu hanya bersipat sesaat. Mau dikemanakan pun pohon-pohon tersebut, cepat atau lambat akan hilang sendiri dari pembicaraan publik.
Mau jadi mebel atau jadi bangke sekalipun kayu mahoni dan jati yang sudah ditebang, bukan lagi persoalan. Apalagi nantinya kalau publik sudah melihat hasil dari revitalisasi monas tersebut.
Kontroversi soal revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), yang ditentang oleh para seniman, karena seniman tidak ingin TIM dikomersialkan. Dengan dikelola oleh Jakarta Propertindo, BUMD pemprov DKI dan para seniman menolak adanya pembangunan hotel Bintang Lima. Dengan sangat mudah Anies mengatasinya, cukup menganti diksi 'Hotel' menjadi 'wisma', maka habis perkara.
Artinya, berkat kecerdikan Anies, tidak ada satu pun rencananya yang terhambat. Meskipun pada awalnya semua menimbulkan kontroversi. Gimana mau dibilang gubernur terbodoh, kalau pada kenyaataan dia mampu lolos dari berbagai persoalan yang dihadapinya dengan sangat elegant. Tidak satu orang pun bisa menghalanginya, termasuk juga Presiden Jokowi.
Di bawah pemeritahan Anies Baswedan, DPRD DKI juga bertekuk lutut. Hanya saja cara Anies berbeda dengan cara Ahok dalam meredam DPRD DKI. Selama DPRD DKI cuma merasa kecolongan setiap saat, maka selama itu pula fungsi DPRD DKI dipertanyakan rakyat yang memilih mereka.
Anies benar-benar seperti kafilah yang terus berlalu, ditengah-tengah anjing yang terus menggonggong. Apakah ingin tetap menjadi anjing yang terus menggonggong, atau mau menjadi tikus yang ikut menikmati kue yang akan disajikan Anies?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H