Jalinan masyarakat yang saling mengerti, memahami satu sama lain, tentunya dibutuhkan agar terjadi sebuah keharmonisan serta menjadikan iklim di masyarakat menjadi sejuk.Â
Tentunya itu semua tidak akan tercapai tanpa sebuah keterikatan yang baik satu sama lain, tanpa adanya suatu ketetapan-ketetapan yang dibuat dan disetujui oleh setiap warga masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan apa yang telah di sebutkan di atas tentunya membutuhkan suatu peraturan-peraturan ataupun sebuah sikap yang baik, guna keharmonisan serta kesejukkan pada lingkungan sekitar maupun kebaikan diri sendiri.Â
Lahirnya Pranata sosial memberikan suatu bentuk sistem dalam hubungan masyarakat, guna mengatur setiap tingkah laku seseorang ataupun kelompok dalam berinteraksi di masyarakat.
Pranata sosial dapat dijelaskan merupakan sebuah sistem norma yang bertujuan untuk mengatur tindakan maupun kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan juga bermasyarakat bagi manusia (bakai.uma.ac.id). Sejalan dengan penjelasan tersebut an-nur.ac.id juga memberikan pemahaman bahwa Pranata sosial adalah suatu sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bermasyarakat.
Begitu pula nasional.kompas.com yang menjelaskan bahwa Pranata sosial merupakan sistem yang menjadi wahana bagi masyarakat untuk berinteraksi.Â
Sistem tersebut merupakan norma khusus yang mengatur tindakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam Achiriah & Laila Rohani, (2018) dijelaskan bahwa Pranata sosial yaitu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat.
Islam sendiri disebutkan merupakan suatu agama yang memberikan sebuah rasa aman, nyaman, damai, serta memberikan kesejukan bagi setiap makhluk yang ada di dunia ini.Â
Dengan demikian tentunya Islam sangat konsen tentang jalinan yang ada di masyarakat. Lalu bagaimanakah perkembangan Pranata sosial sendiri dalam Islam? Untuk itu, mari kita simak ulasan sederhana ini tentang perkembangan pranata sosial dalam agama islam.. .
***
Melansir dari buku Sejarah Peradaban Islam, karya Achiriah & Laila Rohani tahun 2018. Pranata sosial dalam Islam mengalami perkembangan sejak masa Rasulullah SAW, yang disebutkan dengan masa pertumbuhan, kemudian berlanjut pada masa khulafa al-Rasyidin, masa tabi'in, masa pembangunan mazhab, masa taklid dan jumud, serta masa kebangunan kembali pada masa modern.
Pranata sosial pada saat Rasulullah SAW, meletakkan dasar yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yang mana pranata sosial tumbuh dengan pemberian dasar-dasar wahyu sebagai fondasi bagi perkembangan selanjutnya. Peletakan dasar-dasar pranata sosial melalui wahyu ini mencakup masa Mekkah dan masa Madinah.
Pada masa Mekkah, pranata sosial Islam mengarahkan pada pembinaan Aqidah dan Akhlaq, menyuruh manusia untuk mengakui keesaan Allah serta membenarkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Wahyu yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad, menerangkan banyak kisah-kisah kehidupan manusia terdahulu serta mengajak kepada manusia untuk berfikir dan memperhatikan alam sekitarnya.Â
Agar terhindar dari sikap "jahiliyah", seperti pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya. Serta memberikan penjelasan kepada manusia tentang adab-adab Islam seperti berlaku adil, berlaku ihsan, serta saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.
Selanjutnya pada masa Madinah, Nabi Muhammad SAW memberikan pengarahan kepada manusia dalam membina hukum-hukum pergaulan dalam segala aspek kehidupan, baik yang berhubungan dengan perorangan maupun yang berhubungan dengan masyarakat, serta melengkapi lagi syari'ah dalam beribadah.Â
Lalu pada masa madinah juga memberikan penjelasan tentang hukum-hukum mu'amalah, jihad, mawaris, wasiat, thalaq, perkawinan, hukum-hukum sumpah, peradilan, dan segala hukum yang kemudian dibicarakan dalam fiqh.
Dalam memberikan juga menjalankan hukum-hukum Islam yang di buat, Nabi Muhammad SAW menggunakan cara tadrij, yang mana berangsur-angsur, satu demi satu, tidak dibuat-buat atau membuat hukum atas persoalan yang belum pernah terjadi, bukan dengan jalan membayang-bayangkan, serta hukum tersebut tidak pula dibukukan.Â
Kemudian Nabi Muhammad SAW juga melatih melatih para sahabatnya untuk berijtihad guna menetapkan hukum, tetapi tetap dalam pengawasan Nabi.
Nabi Muhammad SAW sendiri dalam menetapkan suatu hukum yang akan dijalankan di masyarakat berdasar pada wahyu yang diterimanya dari Allah, ketika terdapat kesalahan dalam penetapan suatu hukum, Nabi Muhammad akan mendapat peringatan langsung dari Allah.
Masa berikutnya, disebut dengan masa sahabat kecil dan Tabi'in. Pada masa ini pemahaman atas dasar-dasar Pranata sosial mengalami perbedaan yang terlihat jelas dengan berkembangnya Mazhab ahlul hadits dan mazhab ahlul ra'yi. Ulama ahlul hadits mengambil pemahaman atas dasar pranata sosial Islam yang berhenti pada nash dan atsar saja, dan penggunaan ra'yu hanya dalam waktu yang sangat darurat.
Para ulama tersebut mengumpulkan fatwa-fatwa dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali sebelum masing-masing menjadi khalifah, juga fatwa 'Aisyah, Ibn Abbas, Ibn 'Umar, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan putusan-putusan qadhi-qadhi Madinah. Penetapan hukum berhenti pada nash saja karena; pengaruh pendirian para sahabat yang menjadi guru mereka yang tidak mempergunakan qiyas sebelum benar-benar terpaksa seperti Abdullah ibn 'Umar, banyak hadits yang dipercayai kesahihannya karena Madinah jauh dari konflik politik, serta tidak banyak masalah hukum baru karena kehidupan Mekah-Madinah (hijaz) merupakan kelanjutan keadaan masa Nabi dan sahabatnya.
Sedangkan ulama ahlul ra'yi mengambil pemahaman melalui makna-makna yang dinalar melalui nash. Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum syari'at dapat dipahami maknanya dan menyandingkan hukum-hukum tersebut kepada al-Qur'an dan al-Sunnah.
Para ulama tersebut tidak berkeberatan memberi fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak diperoleh pada nashnya. Mereka ini adalah ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Ibrahim al-Nakha'i. Golongan ini berpendapat bahwa hukum-hukum syariat dapat dipahami maknanya, melengkapi maslahat yang kembali kepada para hamba-Nya dan didasari pokok-pokok yang teguh dan illat-illat hukum.
Para ulama ahlul ra'yi, menggunakan ijtihad dalam menetapkan suatu hukum di masyarakat didasari oleh; pengaruh pendirian gurunya yang mula-mula mengembangkan fiqh di Irak, yaitu Abdullah ibn Ma'ud, salah seorang murid 'Umar setelah beliau menjadi khalifah, kemudian banyak ditemukannya hadits palsu sehingga ulama-ulama Irak sangat selektif dalam menerima hadits, serta Irak lebih maju dalam kehidupan sosial budayanya dibanding hijaz sehingga banyak masalah-masalah baru yang ditemukan yang belum terdapat aturan di zaman Nabi Muhammad SAW maupun para sahabat beliau.
Dalam perkembangan berikutnya, pranata sosial Islam berbentuk melalui mazhab-mazhab. Seperti mazhab Abu Hanifah, Maliki, Syafi'I, Hambali, Zahiri, maupun Ja'fari. Pembentukan mazhab-mazhab menjadi luas pengaruhnya yang didasari dari pembukuan atas pendapat-pendapat para imam tersebut, serta pendistribusian yang dilakukan oleh para murid-muridnya juga dukungan dari pemerintah di wilayah masing-masing kala itu.
Selanjutnya lahirlah taklid dan jumud, yang dilatar belakangi oleh terbentuknya mazhab-mazhab tersebut. Taklid dan jumud lahir karena para murid-murid imam mazhab hanya mengandalkan pada ijtihad gurunya, apalagi pemerintahan mendukung dengan kuat berlakunya suatu mazhab saja di wilayahnya demi untuk kestabilan masyarakat yang diperintahnya, juga untuk kepastian hukum di pengadilan.
Sehingga dari peristiwa tersebut, al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba menghidupkan kembali semangat ijtihad dengan menjelaskan syarat ijtihad yang tidak seberat yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i. Bahkan Ibn Taimiyah yang hidup di pertengahan abad ke-13 M hingga awal abad ke 14 M memberikan syarat yang lebih ringan lagi. Namun, hal tersebut tidak dapat membangkitkan semangat ijtihad pada masa itu karena taklid telah demikian kuat menjangkiti kaum muslimin, sedangkan di pihak lain keadaan sosial budaya tidak mengalami perubahan atau statis saja.
Pada abad ke ke-19 M atau abad ke-13 H barulah gerakan untuk berijtihad mulai mengalami kebangkitan kembali. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pergerakan dalam kehidupan sosial dan budaya dalam masyarakat kala itu. Adanya revolusi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan suatu kesadaran pada para ulama, sehingga mereka berusaha merubah kaum muslimin dengan berbagai macam ijtihad guna memajukan kaum muslimin.
Dari penjelasan di atas, menunjukan bahwa perkembangan Pranata sosial dalam Islam mengalami berbagai macam perubahan guna memberikan masyarakat yang dapat mengikuti berbagai arus perkembangan zaman.
Baik faktor dari dalam maupun dari luar Pranata sosial Islam dapat berubah dan menyesuaikan, dengan begitu menunjukan bahwa Islam merupakan suatu agama yang memberikan sebuah rasa aman, nyaman, damai, serta memberikan kesejukan bagi setiap makhluk yang ada di dunia ini, serta (secara singkat) menunjukan bahwa Islam adalah agama yang mudah dijalankan (tidak menyulitkan umat dalam proses ibadahnya) serta memiliki keluwesan untuk setiap zaman.
***
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu pribadi penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada dalam penulisan. Salam hangat untuk semua pembaca, serta tak lupa ucapan terima kasih karena telah berkunjung.. .
Referensi:
Achiriah & Laila Rohani, 2018. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing
an-nur.ac.id, 2022. Pengertian Pranata Sosial
bakai.uma.ac.id, 2023. Pengertian, Fungsi dan Jenis-Jenis Pranata Sosial
Kompas.com, 2022. Pranata Sosial: Tujuan, Fungsi dan Jenisnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H