Manado, ibu kota dari Sulawesi Utara ini bisa terbilang cukup sukses mengedepankan visinya sebagai Kota Model Ekowisata. Yang dalam definisinya yaitu, salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan (sumber: wikipedia). Hal tersebut bisa terlihat dari banyaknya turis lokal maupun mancanegara yang datang ke kota itu untuk melihat kekayaan alamnya. Beberapa perayaan baik nasional maupun internasional juga diadakan di wilayah ini. Contohnya Coral Day yang tahun kemarin diadakan di Pulau Bangka, lalu ada juga Tomohon International Flower Festival (TFF) di mana kota Tomohon dibanjiri jutaan bunga bermacam jenis, dan banyak sekali wisatawan yang menjadi saksi bagaimana acara tersebut diselenggarakan dengan besar-besaran. Siapa yang tidak mengenal Bunaken? Danau Tondano? Danau Linow? Bukit Kasih? Dan masih banyak lagi lokasi wisata alam yang disuguhkan di Sulawesi Utara. Saya pribadi merasa hal itu sangatlah wajar jika menjadi sorotan, melihat situasi dan kondisinya yang sangat-sangat mendukung.
Tapi hal yang berbanding terbalik terjadi pada peninggalan sejarahnya.
Karena sejak dulu saya sangat tertarik dengan bangunan yang dinamakan museum, maka dengan sangat kebetulan mendapatkan dinas luar di kota ini, saya menyempatkan mencari di Google informasi mengenai daftar museum yang ada di Sulawesi Utara. Tapi saya sedikit heran dan tidak percaya, mengapa yang muncul hanya ada 2 nama museum. Yang pertama Museum Negeri Sulawesi Utara, dan yang kedua Museum Museum Kodam XIII-Merdeka (Museum TNI). Dan berbekal rasa penasaran tersebut, saya pun menyempatkan diri datang ke sana.
Pilihan saya jatuh pada Museum Negeri Sulawesi Utara. Karena dekat dengan kosan saya. Lokasi Museum tersebut terletak di Jl.WR Supratman No. 72 . Tepat di depan SMPN 1 Manado. Jalurnya ramai, banyak angkot yang lewat. Bisa dibilang, akses menuju ke sini sangatlah mudah. Saya sampai di sana pukul 11 siang.
Dari gerbang depan terlihat suasana cukup sepi.
Ada satpam yang menjaga di pos memakai safari, saya bertanya,”Museumnya buka, Pak?”
Dia menjawab, ”Buka, mbak dari mana?”
“Jakarta. Mau lihat-lihat.”
“Silahkan naik saja, motornya parkir di atas boleh.”
Saya pun masuk mennerima sambutan baik tersebut dengan langsung mengarahkan motor ke tempat yang dimaksud. Lalu saya bergegas masuk ke lobi museum yang bisa dibilang seperti ruang kantor. Di meja depan saya bertemu dengan dua orang petugas museum. Mereka juga bertanya seperti security tadi. Dari mana? Saya jelaskan bahwa saya dari Jakarta dan ingin sekali melihat-lihat museum yang ada di Manado. Saya langsung bertanya tarif yang dikenakan di sana.
“Di sini belum ada tarifnya. Tapi kami ada kotak untuk sumbangan. Silahkan diisi seikhlasnya. Tapi nanti saja, lihat-lihat dulu.”
Saya pun tanpa basa-basi lagi langsung menuju ke ruangan di mana terdapat lemari-lemari kaca yang akan menceritakan kepada saya sejarah provinsi ini.
Di ruang pertama, saya disambut dengan sebuah replika ikan besar.
Lalu beberapa banner yang menempel di dinding yang menuliskan tentang populasi, peta, flora dan fauna, juga tentang asal-muasal nenek moyang kita yang berasal dari wilayah Sulawesi Utara.
Naik ke lantai berikutnya, saya mendapati replika manusia purbakala.
Masuk ke ruang kedua saya melihat beberapa tengkorak kepala manusia, tengkorak kepala dan gading Gajah raksasa yang tersusun di lemari kaca.
Ke ruang berikutnya, saya melihat barang-barang peninggalan budaya Austronesia.
Saya yang sejak dulu penasaran dengan kubur batu atau di Sulawesi Utara disebut Waruga, kali ini melihat dengan mata kepala sendiri.
Walaupun hanya replika. Karena tidak mungkin memindahkan waruga ke dalam museum. Tapi itu semua digantikan dengan beberapa banner foto-foto waruga yang ada di Sulawesi Utara.
Di dalam waruga, selain ada jasad orang yang meninggal, juga dimasukkan bermacam-macam benda. Antara lain Gelang, Parang, manik-manik, dan beberapa miniatur arca. Nah untuk barang-barang tersebut bukan replika, melainkan benar berasal langsung dari dalam waruga berdasarkan kesepakatan dengan pihak keluarga.
Coba bayangkan sehabis saya melihat waruga, kondisi di sekeliling saya nggak berubah, tetap sunyi sepi.
Tapi saya nggak mau merusak mood saya dengan pikiran aneh-aneh. Maka saya lanjutkan menjelajahi museum ini.
Saya lanjut melihat ke ruangan lain. Saya melewati sebuah ruang seperti lorong, di sana diletakkan koleksi pejuang-pejuang kita yang juga menyebarkan agama Islam di Minahasa. Ada lembaran bertuliskan huruf Arab dan tasbih peninggalan warga Boolang Mongondow (salah satu kabupaten di Sulawesi Utara di mana banyak warganya yang menganut Islam dan ikut menyebarkan ajaran agama ini).
Ada rompi yang digunakan oleh para pengikut Kyai Mojo, berwarna merah dengan benang emas bertuliskan huruf Arab.
Ada juga pedang dan keris.
KH. Ahmad Rifa’i Bin Muhammad. Yang pada akhirnya bergabung dengan para pengikut Kyai Mojo menyebarkan ajaran Islam sekaligus berperang melawan penjajah Belanda. Salah satu cara mereka juga menyebarkan ajaran Islam, yaitu dengan menikahi para wanita-wanita anak ketua adat Minahasa dengan bermacam marga/fam.
Ke lantai berikutnya saya masuk ke ruangan di mana peninggalan-peninggalan masa kolonial tersimpan di sana.
Juga ada peninggalan-peninggalan bangsa Cina, berupa keramik-keramik.
Ke ruang selanjutnya, di lantai yang sama, saya melihat bermacam kain Nusantara, juga alat-alat yang digunakan untuk membuatnya.
Kualitas kain nusantara sekarang dan dulu mungkin berbeda. Disesuaikan dengan bahan pembuatnya. Seperti yang diketahui kapas yang bisa digunakan untuk membuat kain bukanlah kapas utuh. Beberapa kandungan yang ada di dalamnya disingkirkan, dan hasilnya adalah kapas yang bermutu. Selain kain tenun nusantara, saya juga menemukan peninggalan perlengkapan agraria suku Minahasa.
Di lantai paling atas, saya disambut oleh 4 pasang pengantin. Loh?
Pengantin-pengantin itu berbentuk patung, ada pengantin Manado, pengantin etnis Minahasa, pengantin etnis Nusa Utara, dan pengantin etnis Bolaang Mongondow. Saya suka pakaian pengantin wanitanya, sederhana tapi tetap cantik.
Baju pengantin etnis-etnis ini saat ini mungkin sudah tidak sesederhana dulu. Disesuaikan dengan perkembangan jaman. Tapi tetap sakralnya perkawinan yang tetap dipertahankan.
Berlanjut, di lantai yang sama saya juga melihat beberapa furnitur peninggalan pahlawan kita di Sulawesi Utara. Salah satunya ada meja kerja juga mesin jahit peninggalan Ibu Walanda Maramis.
Melihat furnitur-furnitur kayu itu, saya berusaha membayangkan berada di jaman penjajahan dulu. Benda-benda mati itu tidak ikut terkubur bersama para pemiliknya. Mereka dijaga, dirawat, disimpan sebaik-baiknya untuk anak-cucu kita.
Saya pun beralih ke gedung sebelah. Di sana saya akhirnya berkenalan dengan Bpk. R.W Monginsidi, Bpk Sam Ratulangi, Ibu Johanna M.Tumbuan, Bapak Daan Mogot, juga Bapak Arie Lasut. Kesemuanya dalam bentuk patung dan foto. Sebelumnya saya hanya tahu namanya, biasanya nama mereka dipergunakan sebagai nama jalan bahkan di kota-kota lain. Tapi hari ini saya sudah tahu wajah-wajah mereka.
Penjelajahan saya pun berakhir. Ada rasa senang sudah meluangkan waktu ke sini, bekerja sambil liburan, rekreasi, dan menambah ilmu.
Saya pun melangkah lagi kembali ke meja resepsionis.
Penjaganya bertanya, “Bagaimana kesan-kesannya?”
“Sangat puas, tapi kenapa sepi sekali, Bu? Atau karena ini hari Senin?”
“Tidak juga, memang setiap harinya begini. Mbak ini aja pengunjung pertama hari ini.”
“Apa ada museum lain selain ini?”
“Ada, Museum TNI. Sekarang sih sudah dibuka untuk umum, tapi sama, sepi juga.”
Setelah saya mengisi buku tamu dan memberikan sedikit rezeki ke kotak sumbangan, saya berpamitan kepada kedua penjaga museum tersebut.
Setahu saya, museum saat ini sudah beralih fungsi menjadi lokasi yang disewakan untuk keperluan program beberapa stasiun televisi yang menyuguhkan tayangan live setan-setanan yang saat ini sedang booming. Kalau lolos dari setan dapet gopek. Kalau engga lolos ya kesurupan. Gitu kan ya? Atau sebagai lokasi foto pre wedding. Hal itu wajar saja, karena museum harus memiliki dana untuk perawatan, kebersihan, dll. Jika pengunjungnya bisa dihitung dengan jari dalam satu minggu, apa kita yakin puluhan tahun ke depan museum-museum itu masih setia menunggu kita datang?
Dan saya rasa ini tidak hanya terjadi di Manado. Di kota lain pun sama. Jakarta juga hampir seperti itu. Di Makassar pernah juga terjadi, saya bertanya pada supir taksi, ada museum apa saja di Makassar. Dijawabnya tanpa berpikir dulu, "Saya nggak tahu, Bu. Saya nggak pernah ke museum. Nggak pernah juga antar tamu ke museum." Luar biasanya ya.. hehehe. Adik saya yang SMA pernah saya ajak ke museum, dia jawab, "Mau cari setan, Mbak?" Nah lho. Ada apa ini. Sebegitu mengerikannyakah museum di mata orang banyak?
Ini tugas kita semua, (yang katanya) anak-anak bangsa. Pihak pemerintah setempat juga diharapkan lebih mempromosikan museum yang ada di wilayah masing-masing. Jangan jadikan museum semacam sarang hantu yang membuat orang tidak tertarik masuk ke dalamnya bahkan takut. Museum adalah aset bangsa. Apa bedanya dong museum sama kuburan? Sama-sama sepi dan sama-sama (dikira) banyak setannya.
Di perjalanan pulang saya banyak berpikir, bahwa Indonesia tak hanya punya kekayaan alam yang indah untuk dinikmati, tapi Indonesia juga punya sejarah yang meminta sedikit waktumu untuk ditengok, dipelajari, dan diberi tempat yang layak di hati. Sayangilah sejarah bangsamu, dengan begitu kau akan menjaga bangsa ini hingga titik darah terakhirmu dan ada cerita-cerita kepahlawanan yang real untuk anak-cucu kita.
Salam Sayang..
---------------------------------------------------------ALA-----------------------------------------------------
Dok : Pribadi
*berhubung kamera hp jadul jadi maaaf kalo seadanya aja ya :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H