Kenalkan, namaku Peter. Aku menyewa kamar no.6 di lantai 9 hotel ini. Aku menghabiskan banyak uang untuk menetap di sini. Namun uangku akhirnya habis. Tapi aku tak mau pindah kemana-mana.Â
Aku sudah sangat nyaman berada di sini. Satu-satunya harta yang kupunya hanya satu tas penuh berisikan logam emas milik mendiang kakek buyutku. Aku mencurinya dari brankas bawah tanah rumah ibu.Â
Mulanya keluarga besarku mencari tahu dimana aku berada, tapi itu semata-mata hanya karena harta warisan ini, bukan karena mereka mencintaiku.Â
Dengan terpaksa kuberikan tas itu pada pihak hotel, namun aku lupa kapan tepatnya. Tapi aku yakin emas-emas itu bisa untuk membiayai tagihan uang sewaku selama di sini, seumur hidup.
Entah sudah berapa lama aku di sini. Mungkin keluargaku pun sudah tak ingin tahu keberadaanku karena lelah dengan semua jalan buntu yang mereka dapatkan tentangku.
Hotel ini sangat sepi, kuyakin hanya aku satu-satunya yang masih ingin ada di sini. Pemilik hotel itu berganti-ganti, juga namanya. Tapi hanya pemilik yang terakhir yang mau berinteraksi denganku. Orangnya ramah. Sangat ramah. Anice namanya.
Saat malam menjelang, Anice selalu menemaniku di teras belakang hotel. Teras bahkan bahkan lebih nyaman dari pada di dalam kamar. Seakan ada sesuatu yang menarikku untuk selalu ke sana.Â
Anice tak banyak bicara. Namun sepertinya dia adalah teman yang baik. Aku kerap menanyakan mengapa hotel ini sepi? Dan mengapa aku sering mencium ada benda yang terbakar dari dalam kamar?Â
Anice hanya bilang mungkin itu terjadi saat dia tengah menyuruh orang membakar daun-daun yang gugur dari pohon-pohon tua yang ada di lingkungan hotel. Memang hotel ini sangat tidak terawat.Â
Bukan seperti hotel yang kalian bayangkan. Makanya aku tak heran jika hotel ini tak pernah lagi dikunjungi. Namun Anice kelihatannya tidak terlalu khawatir jika hotel ini sangat sepi pengunjung. Ya, aku lupa kapan terakhir kali aku menemukan ada tamu selain diriku di sini.