[caption id="attachment_165409" align="aligncenter" width="375" caption="http//www.aksesdunia.com"][/caption]
Alan dan Galuh mengamati tempat mereka berada. Seperti sebuah ruangan. Ruangan remang yang hanya diterangi oleh lima buah obor menyala. Ada meja batu dihadapan mereka. Di atasnya terdapat dua buah wadah seperti batok kelapa berwarna coklat gelap. Ada lilin pada kedua sisinya. Sementara di tengahnya ada benda seperti boneka dari daun kelapa yang terikat.
“Ini tempat pemujaankah?!?“ Gumam Alan.
Namun ditengah kebingungan mereka, sialnya masih ada satu lubang lagi yang tanpa sengaja terinjak oleh mereka. Merekapun terperosok kembali.
“Brukkk …”
Galuh dan Alan sukses masuk ke dalam lubang basah dan dalam tersebut. Galuh menindih tubuh Alan. Posisi yang sangat menyakitkan pastinya. Lubang itu sangat gelap. Bahkan lebih tepat disebut sebagai goa. Mendadak tercium bau anyir yang sangat menganggu indra penciuman keduanya.
“Aww,, Alan… Alaaannn?” suara Galuh menggema.
“Apa Luh? Kamu menibanku. Aku di bawahmu.. sakitt..”
“Kita dimana Lan? Aku tak bisa melihat apapun disini.”
“Sabar Luh.. aku bawa korek gas kok..” jawab Alan sembari mengeluarkan sebuah korek gas dari dalam saku celananya.
Alan menyalakan korek apinya, namun selalu teritup angina yang justru berasal dari dalam goa. Tapi setelah mencobanya berulang kali akhirnya korek itu bisa menyala.
Nampak dinding goa yang kasar dan berlumut. Alan menarik tangan Galuh agar mau mencari tahu isi dalam goa tersebut.
“Ayo Luh, masuk. Kita harus cari tahu.”
“Nggak mau, jangan aneh – aneh Alan. Kalau ada setannya gimana?”
“Luh, setan ada dimana – mana. Tak harus di dalam sini, di mall juga ada. Sudahlah, ada aku.” Alan membelai rambut Galuh yang kini sudah acak – acakan.
Mereka melangkah satu – satu. Suara langkah mereka menciptakan gaung yang mengejutkan diri mereka sendiri. Kurang lebih sepuluh langkah di depan ada sesuatu yang membuat mereka sempat memutuskan untuk berlari keluar. Namun rasa penasaran Alan mencoba meyakinkan Galuh bahwa ada misteri di dalam goa ini. Semakin ke dalam goa ini semakin besar dan yang paling mnecengangkan terdapat puluhan kotak seukuran peti mati di letakkan secara acak. Beberapa diantaranya malah sudah tak memiliki bagian penutup.
“Lan ayo keluar aja. Aku udah nggak sanggup. Itu apa?”
“Sabar Luh, kamu duduk saja ya, aku yang akan memeriksa peti – peti itu.”
Lagi – lagi Galuh tak melawan. Ia memilih mencari dinding Goa dan duduk di sisinya.
Alan berjalan sangat pelan menuju kearah peti – peti itu diletakkan. Sejujurnya ada sedikit gentar yang mengisi ruang bathinnya.
Di langkah terakhir sampai di peti, Alan menahan napas seraya mengepalkan tangannya.
“Ya Tuhannnnnnn …”
***
Sani, Brandon, dan Hidayat menapaki jalan setapak dalam hutan. Udara dingin amat menusuk ke sumsum. Namun tekad mereka adalah menemukan kedua sahabatnya.
“Kemana kita cari mereka Yat?” tanya Sani.
“Berdoalah kita, gue juga nggak tahu harus cari mereka kemana. Hutan ini luas. Ada apa sih? Kenapa bisa berantakan gini acara liburan kita.”
“Hey Guys, stopped it! Jangan mengeluh terus, kita bagi tugas saja gimana. Kau ke barat San, Hidayat Ke utara, dan Aku ke selatan.”
“Nggak! Gue nggak mau kita terpisah lagi Brand. Lo tahu gimana bahayanya hutan ini? Udahlah, kita cari sama – sama.” Sani menjawab ketus.
“Ok lah… “ Brandon mengiyakan dengan memasang wajah bersungut – sungut.
Mereka terus berjalan, bermodalkan kompas, senter, dan pisau. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan seorang bapak tua yang kelihatannya sulit sekali berjalan.
“San, liat ada bapak tua tuh, kita tanya aja sama dia. Gimana?” tanya Hidayat
Sani tak menjawab, ia justru memandang Hidayat dengan wajah penuh keheranan.
Langkah kaki Hidayat dipercepat, meninggalkan rekan – rekannya belasan langkah.
“Permisi pak, numpang tanya ..”sapa Hidayat pada bapak Tua yang lebih tepat dipanggil kakek tersebut. Namun kakek tersebut hanya menoleh datar dan tetap melanjutkan langkahnya.
Hidayat sempat bingung namun ia seakan tak peduli, dan ia terus bertanya.
“Kek, kami kehilangan teman – teman kami disini. Apa kakek melihat seorang laki – laki dan perempuan muda?”
Masih tanpa menoleh kakek itu menjawab,”apa yang sudah hilang disini tak perlu dicari, percuma. Sadari kesalahan kalian. Apa yang sudah kalian perbuat.”
Hidayat semakin bingung dengan penjelasan kakek tersebut. Ia menoleh kebelakang memandang kearah Brandon dan Sani. Namun saat ia kembali menoleh ke kakek tersebut, ternyata kakek yang tadi diajaknya bicara tiba – tiba sudah meninggalkannya sejauh hampir 100 meter. Padahal tadi kakek tersebut kelihatan sangat sulit berjalan.
Sontak Hidayat langsung berjalan mundur dan setengah berlari menuju kedua rekannya.
“Gila, lagi – lagi setan. Masa tau – tau dia udah jauh banget jalannya. Lo liat nggak San? Brand?”
“Liat apa sih? Dari tadi juga kita liat lo ngomong sendiri kok Yat.”jawab Brandon santai.
“Sial!! Jadi beneran dia juga setan? Matilah kita. Bener – bener nggak ada manusia apa di hutan ini?”Hidayat mulai gundah.
“dwaaaaaaarrrr…”
Kilatan petir mengejutkan ketiganya …
***
“Cok? Kok ada foto mereka bertiga disini?”
“Cemana aku paham? Memangnya aq ini anaknya zi mbah Dewo kau pikir ha? Ada – ada gazah kau Nia,,hadehh..”
Wajah ketiganya dalam foto itu tanpa ekspresi. Pakaian yang dikenakan sungguh – sungguh pakaian orang – orang di masa lampau. Alya mencoba mendekati Coki, mencoba mencari tahu dan ia bertekad menggunakan indra ke-enamnya untuk menguak rahasia di balik ini semua.
“Cok, coba aq liat..”
Alya mengambil foto itu dari tangan Coki. Mengamatinya dalam – dalam. Kurnia dan Coki memandangi wajah Alya bergantian.
Alya menggeleng – gelengkan kepalanya perlahan, namun mampu terlihat oleh Kurnia.
“Kenapa Al?”
Alya diam sejenak, menarik napas panjang dan mulai menjelaskan apa yang bisa ia terawang dari foto yang ada di tangannya saat ini.
“Kalian tahu? Yang ini mbah Deweo, dia adalah pemilik villa ini.” Sambil menunjuk laki – laki yang berdiri di paling kiri. Lalu Alya melanjutkan lagi penjelasannya. “Yang ini Tejo, dia adalah anak angkat mbah Dewo. Dan dia yang menjemput kita malam itu di stasiun. Ingat?” tanya Alya. Coki dan Kurnia mengangguk.
“Dan yang ini Nunik, dia memang anak kandung mbah Dewo. Tejo dan Nunik terlibat cinta terlarang. Mbah Dewo nggak mau mereka berhubungan lebih dari sekedar kakak dan adik. Namun Nunik dan Tejo tidak menggubris, dan mereka justru melakukan hubungan sex dan mbah Dewo tahu.”
“Walah, mantap kali si Nunik ya? tak zangka aku lho..nyam ..nyam…”
“Coki! Masih bisa aja bercanda sih?” Kurnia geram.
Coki mengusap rambutnya sendiri.
“Al lanjutin…” pinta Kurnia.
“Orangtua Galuh adalah pemilik ke 13 villa ini. Pemilik pertama sampai kedua belas menjual villa ini, karena anak gadis atau bahkan saudara mereka yang berusia belum genap 20 tahun sudah dijadikan tumbal. Gunanya untuk menggantikan posisi Nunik.”
“Makzud kau Al?”tanya Coki.
“Iya, karena mbak Dewo sudah membunuh Nunik dan Tejo. Maka ia mencari gadis seumuran Nunik untuk diangkat menjadi anak. Dan pastinya harus perawan, jika tidak maka mbah Dewo akan membunuhnya sama seperti ia membunuh Nunik.
Coki dan Alya melemparkan pandangan. Mereka sungguh tak menyangka bahwa liburan kali ini amat sangat mencekam.
“Jadi sasaran berikutnya Galuh Al?”
Alya mengangguk pelan.
“Hebat!! Ternyata ada cenayang kecil disini.”
Suara berat mbah Dewo mengejutkan mereka bertiga. Tatapan matanya sinis. Kurnia menggenggam tangan Alya. Sementara Coki berdiri di samping mereka sambil menahan gemetar tubuhnya.
“Tidak harus Galuh, Kau atau mungkin kau juga bisa jika aku mau ..”mbah Dewo menunjuk wajah Alya dan Kurnia bergantian. Keduanya mundur teratur sampai menuju sisi paling sudut ruangan.
“Tapi kalian tak perlu takut, aku punya pilihan.”
“Apa mbah?”tanya Coki mendadak berani..”
“Kalian harus ……”
*Bersambung*
[1] Rencana Liburan [2] Keberangkatan ke Yogyakarta [3] Malam Pertama [4] Kotak Cincin [5] Hari Pertama [6] Tersasar di Hutan [7] Kilatan Kejadian [8] Ternyata Nunik?
[9] Tempat Rahasia
_______
KOLAMI
________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H