Mohon tunggu...
Ajeng Kania
Ajeng Kania Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru di SD yang sedang asyik menemani bayi mungilnya

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kuliner, Mojang, dan Alam Endah Kekayaan Tatar Sunda

28 Februari 2011   00:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:13 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_93520" align="aligncenter" width="680" caption="gurame gede goreng garing gurih gratis (6G) hehehe.."][/caption] Ada seloroh, kalau mau belajar survivel di hutan cobalah kepada urang Sunda. Sesuai pepatah, urang Sunda kalau dilepaskan ke tengah hutan, tidak akan pernah mati kelaparan, karena mampu mengonsumsi dangdaunan sebagai makanan. Itu karena geografi alam tatar Sunda kaya akan hutan dan dikelilingi pegunungan, aliran sungai, ladang dan pesawahan membuat urang Sunda sangat akrab dengan alam sekitarnya secara turun temurun. Kekayaan dan kesuburan tanahnya, bukan saja tempat menggantungkan mata pencaharian penduduknya, tetapi turut membentuk tradisi pola hidupnya untuk pemanfaatan hijauan segar. Dangdaunan (dedaunan) bagi urang Sunda sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari.  Mereka biasa memanfaatkan dangdaunan sebagai bungkus. Berbeda dengan bungkus plastik, bungkus dangdaunan cukup bersahabat dengan alam karena bersifat organik, mudah diuraikan dan menyuburkan tanah.  Daun jati dan daun waru memiliki kelenturan dan tekstur kasar biasa untuk membungkus peuyeum singkong atau ikan hasil nyirib.  Daun jambu air, daun jagung, dan daun kunyit biasa digunakan untuk mengemas peuyeum ketan, wajit, dan bacang.  Dangdaunan pun bermanfaat sebagai pewangi dan pewarna alami, seperti daun suji, daun pandan dan salam. Sementara daun muda kelapa dengan sentuhan kreasi dibuat janur kuning yang eksotik dan ornamen lainnya. Di antara dangdaunan di atas, adalah daun pisang memiliki beraneka fungsi dan menjadi inspirasi bagi wanita Sunda. Berbahan daun pisang, wanita Sunda mahir berkreasi membuat penganan berbahan beras, seperti: timbel, buras, leupeut, bugis, nagasari, dsb.  Dengan daun pisang juga melahirkan aneka pais (pepes), seperti: pais jambal, pais impun, pais peda, atau pais gurame bakar yang bikin menari air liur. Selain sebagai bungkus, dangdaunan biasa dikonsumsi  penduduk di bumi Parahyangan. Lingkungan tempat tinggal  seolah didesain  akrab dengan tanaman sayuran dan buah-buahan di sekeliling rumahnya.  Dangdaunan ada yang diolah dengan cara dimasak dan bersifat spesifik menjadi angeun (sayur) seperti: angeun kangkung, angeun bayam, atau angeun katuk. Ada juga kolaborasi hijauan, seperti angeun lodeh dan angeun haseum. Keduanya merupakan gabungan daun dan buah melinjo, kacang panjang, terong ungu, labu siam dan jagung muda. Buntil biasa dibuat dari daun pepaya, daun singkong dan daun talas. Adapun urab terdiri beberapa hijauan diolah dengan kelapa parut menawarkan sensasi tersendiri.  Hijauan pun berkolaborasi dalam lotek asak biasa dimakan di tengah hari membuat tubuh terasa segar. Dangdaunan pun dapat dimakan mentah sebagai lalaban.    Masyarakat di  sini biasa mengonsumsi daun antanan, kemangi, selada, terong bulat, mentimun, atau petai dan jengkol muda.  Dengan di-coel-kan pada sambel terasi atau sambel oncom bikin seuhah alias mendongkrak nafsu makan.  Rasa pedas cengek berbaur dengan cabe merah dan wangi bawang merah serta terasi, apalagi dengan ikan asin bakar bakal menantang untuk makan lebih lahap (ponyo atau ngalimed). Hijauan mentah pun dapat disajikan dalam bentuk pencok atau karedok dengan cita rasa segar dan  alami. Mojang Priangan Alam Parahyangan kaya produk nabati ternyata amat baik bagi kesehatan.  Di tengah munculnya ajakan untuk kembali ke pola hidup organik ternyata masyarakat Parahyangan secara turun temurun  sudah mempraktikkan gaya hidup sehat ini. Mereka sudah biasa mengonsumsi buah-buahan segar, dijadikan rujak atau jus, seperti: mangga, belimbing, jeruk, pepaya atau jambu. Begitu pun hijauan mentah untuk lalaban. Mengonsumsi banyak buah-buahan dan sayuran segar membuat badan sehat, kulit halus, dan bersih. Barangkali itu pula yang membuat mojang Priangan terkenal lenjang dan kesohor kecantikannya karena mereka biasa mengonsumsi produk nabati. Tak heran daerah Bandung dikenal dengan "kota  kembang" bukan saja elok taman bunganya tapi anggun para mojangnya. Bila ditelaah secara gizi, produk nabati sesungguhnya sumber serat sangat baik bagi kesehatan. Serat (fiber) berguna untuk mencegah sembelit dan memperlancar buang air besar.  Makanan berserat pun makin populer, karena berdasarkan temuan para ahli, serat makanan memiliki banyak manfaat, yakni mencegah dan menyembuhkan kanker usus besar (colon cancer), luka serta benjolan usus besar (diverticulitis) dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (hipercholesterolemia). Di samping itu buah-buahan dan sayuran memiliki kandungan anti-oksidan mampu menangkal radikal bebas sehingga menghambat penuaan dini.  Inilah barangkali rahasia mereka selalu awet muda dan memiliki kulit serta paras ayu hehe... Nostalgia kuliner [caption id="attachment_91573" align="alignleft" width="300" caption="ikan, sambel dan lalab, ikon masakan khas Sunda"]

1298855632449357508
1298855632449357508
[/caption] Alam telah begitu akrab dengan kehidupan urang Sunda. Hamparan sawah, ladang, gemericik aliran sungai melewati bebatuan maupun tradisi memelihara ikan berikut ayam di atas empang (longyam) adalah potret kehidupan masyarakat Sunda selalu indah dikenang.  Rasa kangen itulah kini dimanfaatkan sejumlah pengusaha untuk menjual wisata nostalgia berikut kuliner terutama bagi keluarga Sunda mapan. Untuk memancing mereka, tak perlu sulit. Cukup memasang baliho berisi menu kenangan mereka seperti: sangu beureum, pais impun, gurame bakar, cobek belut, bakakak hayam kampung, tutug oncom, ulukuteuk leunca, pencok kacang panjang, lengkap dengan sambel terasi dan aneka lalab, dijamin bakal menggoda naluri dan selera makan mereka. Apalagi arsitektur dan dekorasi bangunan mengadopsi alam Priangan dengan rumah panggung, dilengkapi kolam ikan dan suara gemericik air di sela-sela bebatuan. Iringan degung Cianjuran dan penyajian menggunakan boboko (bakul), coet (ulekan) dan samak (tikar) membuat konsumen seolah dibawa ke masa silam saat di desanya dulu.  Semilir aroma bungkusan daun pisang bakar berisi pais jambal bakar saling susul dengan wangi daun kemangi atau petai bakar menyergap hidung membuat konsumen dibuat tak sabar untuk segera menikmati hidangan tsb. Hemmhh.. Alam Parahyangan adalah surga kaum kuliner.  Dengan racikan minimalis dalam bumbu, masakan khas Sunda tidak kalah dalam cita rasa dibanding masakan daerah lain. Citra kuliner khas Sunda bukan saja sehat, praktis dan alamiah, namun juga bikin kangen penikmatnya Keakraban dengan alam nan subur, hijau, dan melimpah membuat urang Sunda sulit ingkah balilahan (pergi meninggalkan kampungnya).  Saya kira bukan cuma urang Sunda, mereka yang pernah merasakan tinggal di bumi Parahyangan  biasanya betah dan sulit untuk kembali ke daerah asalnya. Ini karena tertarik oleh alamnya yang indah, atau kulinernya yang menggoda atau malah kecantol mojang Parahyangan di sini? (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun