Permasalahan gizi merupakan salah satu masalah kompleks dan harus segera diatasi terutama di Indonesia. Beberapa penelitian, berita, ataupun artikel menyebutkan bahwa permasalahan gizi di Indonesia terus mengalami peningkatan, tidak sebanding dengan beberapa negara Asia lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Salah satu permasalahan gizi yang cukup kompleks di Indonesia hingga saat ini adalah stunting. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia menjadikan program penanganan stunting sebagai program prioritas nasional yang memerlukan penanganan khusus guna menekan peningkatan angka stunting.Â
Stunting sendiri merupakan kondisi dimana anak mengalami malnutrisi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi tersebut  menggambarkan anak-anak yang mengalami gangguan pertumbuhan terutama pada bagian tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya sebagai dampak dari permasalahan gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi. Stunting dapat terjadi mulai dari janin masih di dalam kandungan dan akan terlihat ketika anak menginjak usia dua tahun. Stunting yang terjadi pada masa balita akan sangat berpengaruh pada kehidupan anak masa umur sekolah, masa muda, ataupun berusia (dewasa). Dalam jangka panjang stunting juga akan berpengaruh pada perkembangan otak dan tubuh anak dan ketika dewasa akan mempengaruhi produktivitas dan lebih rentan terkena penyakit kronis.Â
Menurut UNICEF Indonesia, salah satu aspek yang menjadi pemicu stunting adalah kurangnya pengetahuan dan praktik gizi yang tidak tepat atau sesuai. Pola makan sangat berkaitan erat dengan kualitas gizi yang diterima oleh individu, terutama pada masa pertumbuhan dan perkembangan awal. Kekurangan pemahaman tentang pentingnya gizi seimbang dan pola makan yang sehat dapat mengakibatkan kurangnya variasi dalam jenis makanan yang dikonsumsi. Keragaman tipe pangan yang disantap oleh individu akan mempengaruhi mutu, kelengkapan, dan kualitas dari gizi yang diterima oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal. Misalnya, jika pola makan didominasi oleh satu jenis makanan saja dan kurang mengandung zat-zat gizi esensial seperti protein, zat besi, dan vitamin, maka anak tersebut akan berisiko mengalami kekurangan gizi yang kemudian dapat berujung pada stunting.
Faktor-faktor yang menyebabkan stunting pada anak-anak adalah, (1) Kurangnya asupan gizi yang memadai. Anak-anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi yang cukup, terutama pada periode kritis pertumbuhan awal, rentan terhadap stunting karena kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi. (2) Kondisi kesehatan yang buruk pada anak. Infeksi dan penyakit kronis seperti diare, pneumonia, dan penyakit menular lainnya dapat mengganggu penyerapan nutrisi dan pertumbuhan anak-anak dan dapat memperburuk kondisi stunting. (3) Faktor lingkungan. Akses terbatas terhadap air bersih, sanitasi yang buruk, dan lingkungan yang tidak higienis meningkatkan risiko infeksi dan penyakit pada anak-anak, yang kemudian berkontribusi terhadap terjadinya stunting. (4) faktor sosial ekonomi seperti kemiskinan, pendidikan rendah, dan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan ekonomi dapat menghambat akses terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan yang diperlukan untuk mencegah stunting, sementara pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi pemahaman tentang pentingnya gizi seimbang dan perawatan anak-anak. Selain itu, dampak jangka panjang stunting tidak hanya dirasakan oleh anak tersebut, tetapi juga oleh masyarakat dan negara secara keseluruhan. Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, produktivitas tenaga kerja, serta memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat.Â
Dalam hal ini Pemerintah bergerak membuat berbagai kebijakan untuk mencegah angka stunting meningkat. Kebijakan penanggulangan stunting di Indonesia merupakan upaya yang kompleks dan terdiri dari serangkaian langkah strategis yang dirancang untuk mengatasi masalah gizi kronis. Salah satu kebijakan utama yang telah diterapkan adalah Program Penanggulangan Stunting yang diluncurkan pada tahun 2017 oleh pemerintah Indonesia. Program ini bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting yang sudah dilakukan pada pertengahan tahun 2023 sebesar 21,6% dan masih mengejar target yang ingin dicapai pemerintah sebesar 14% pada tahun 2024. Dalam kerangka kebijakan ini, terdapat berbagai program dan intervensi yang meliputi pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak-anak rentan stunting, peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan dan gizi, serta promosi perilaku hidup sehat dan pendidikan gizi bagi masyarakat.Â
Selain itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menjadi dasar hukum yang penting dalam upaya penanggulangan stunting. Undang-undang ini menegaskan hak setiap individu atas pangan yang cukup, aman, bergizi, dan sehat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Dalam konteks penanggulangan stunting, Undang-Undang Pangan menjadi landasan untuk menyusun kebijakan dan program yang berfokus pada pemberian makanan bergizi kepada anak-anak dan pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat secara menyeluruh. Kebijakan pemerintah juga mencakup upaya untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, mengingat kondisi lingkungan yang bersih dan sehat merupakan faktor penting dalam pencegahan stunting. Program-program pembangunan infrastruktur sanitasi dan penyediaan akses air bersih menjadi bagian integral dari strategi ini. Contoh konkrit dari kebijakan ini adalah Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di tingkat masyarakat.
Selain itu, kebijakan pemerintah juga menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan dan keluarga dalam upaya penanggulangan stunting. Hal ini tercermin dalam berbagai program yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan perawatan dan nutrisi yang optimal bagi anak-anak mereka. Program pelatihan keterampilan, penyediaan akses kepada pelayanan kesehatan reproduksi, serta promosi kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan keluarga menjadi bagian dari kebijakan ini. Kebijakan penanggulangan stunting juga diarahkan pada pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Kemiskinan merupakan faktor risiko utama terjadinya stunting, oleh karena itu kebijakan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menjadi prioritas. Program-program bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, serta pembangunan infrastruktur ekonomi di wilayah terpinggirkan menjadi bagian dari strategi ini. Dengan meningkatnya pendapatan dan akses terhadap sumber daya ekonomi, diharapkan masyarakat dapat lebih mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka, sehingga dapat mengurangi risiko stunting.
Selain dari kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan-peraturan teknis yang mendukung implementasi kebijakan penanggulangan stunting. Misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Gizi Masyarakat yang mengatur standar pelayanan gizi yang harus dipenuhi oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap warga negara, terutama anak-anak, mendapatkan akses yang setara dan berkualitas terhadap pelayanan gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Dalam hal ini, perlu adanya penyuluhan partisipatif masyarakat untuk turut serta membantu Pemerintah menekan angka stunting di Indonesia. Pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan partisipatif merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses penyuluhan dan pengambilan keputusan terkait dengan isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat memiliki pengetahuan dan pengalaman yang bernilai tentang kondisi lokal mereka dan dapat menjadi agen perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam konteks penanggulangan stunting di Indonesia, pendekatan penyuluhan partisipatif akan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses penyuluhan tentang gizi yang seimbang dan pola makan yang sehat. Hal ini dilakukan dengan mengadakan forum-forum diskusi, lokakarya, atau kelompok diskusi di tingkat komunitas, di mana masyarakat dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan praktik terbaik mereka terkait dengan gizi dan pola makan.
Selain itu, pendekatan ini juga memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program penanggulangan stunting. Masyarakat dapat memberikan masukan tentang kebutuhan dan prioritas mereka, serta berkontribusi dalam merancang solusi yang sesuai dengan konteks lokal mereka. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung, program-program penanggulangan stunting dapat menjadi lebih relevan, efektif, dan berkelanjutan. Pendekatan penyuluhan partisipatif juga mendorong terciptanya kemitraan yang kuat antara pemerintah, LSM, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan stunting. Melalui kolaborasi ini, sumber daya dan keahlian yang beragam dapat digabungkan untuk menciptakan solusi yang komprehensif dan terpadu untuk masalah gizi kronis ini.Â